Tuesday, November 07, 2006

RS, Selasa, 7 November 2006
Keluarga DPO Siap Melawan, Hari Ini Batas Waktu Menyerahkan Diri

POSO - Rencana polisi menangkap 29 DPO (daftar pencarian orang) kasus kekerasan di Poso bakal mendapat perlawanan. Kemarin, keluarga dari para buronan polisi itu berkumpul dan menyatakan siap melakukan perlawanan dan akan membela mati-matian atas rencana polisi tersebut.
Keluarga DPO yang mayoritas ibu-ibu berkumpul sekitar pukul 17.30 di rumah Yunus Ghofur, seorang purnawirawan polisi yang tinggal di kawasan Jl Pulau Kalimantan. Pertemuan itu dimediatori Yunus karena salah seorang anaknya ada yang masuk dalam daftar DPO.
"Siapa yang mau menyerahkan ke polisi. Kita tidak mau menyerahkan. Nyawa taruhannya. Lebih baik berkumpul dengan mayat daripada harus menyerahkannya ke polisi," teriak seorang ibu dengan histeris beberapa saat sebelum pertemuan dimulai.
Seperti diberitakan, polisi sudah mengumumkan 29 DPO yang dituding terlibat dalam serangkaian aksi kekerasan di Poso. Kekerasan itu merupakan buntut konflik komunal antara dua komunitas di bumi Sintuwo Maroso tersebut.
Di antaranya kasus pembunuhan I Wayan Sukarsa, bendahara GKST Drs Tadjoja, pembunuhan Kepala Desa Pinepa, penembakan jaksa Ferry Silalahi dan mutilasi terhadap tiga siswa SMK Kristen Poso. Nama-nama DPO itu muncul atas hasil penyidikan terhadap beberapa tersangka kasus kekerasan di Poso yang sudah tertangkap terlebih dulu.
Sebelumnya, polisi menyatakan bahwa beberapa tokoh Islam Poso bersedia menyerahkan 29 DPO tersebut. Namun ini dibantah Ketua FSPUI (Fosum Silaturahmi dan Persaudaraan Umar Islam) Poso H. Adnan Arsal. Adnan mengaku pihaknya tidak pernah menjanjikan penyerahan 29 DPO itu, melainkan hanya bersedia menjadi mediator untuk mencarikan jalan tengah terhadap rencana penangkapan tersebut.
Polisi kemudian sempat menyebutkan deadline seminggu kepada para DPO itu untuk menyerahkan diri. Baik menyerahkan diri langsung maupun diantar tokoh masyarakat. Bila deadline itu ditepati, maka hari ini batas akhir deadline dan polisi mengancam akan melakukan penangkapan.
Para keluarga DPO itu pun berkumpul untuk menentang rencana penangkapan polisi. Meski mereka sendiri sampai sekarang mengaku tidak tahu di mana keberadaan para keluarganya yang tercatat dalam daftar buron polisi.
Misalnya saja pengakuan Ny Jamilah, warga Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso Kota. Dia tidak terima anaknya yang bernama Irwan Asafa dimasukkan dalam daftar buron dengan tuduhan pembunuhan terhadap I Wayan Sukarsa. Sebab, kata Jamilah, dirinya tidak yakin anaknya terlibat.
"Waktu kejadian anak saya ada di Palu untuk sekolah. Dia masih SMA kelas 3. Kemudian saat terjadi pembunuhan terhadap pendeta, dia ada di rumah sakit. Demi Allah, Saya tidak terima anak saya dinyatakan buron. Mobil saya sampai sekarang juga disita polisi dan belum dikembalikan," kata Jamilah sembari menangis sesenggukan.
Begitu juga dengan pengakuan Ny Iis. Dia tidak terima anaknya yang bernama Amrin alias Aat masuk DPO dengan tuduhan terlibat dalam pengeboman di Pasar Tentena. Sebab, katanya, saat kejadian anaknya ada di rumah kakaknya.
"Malah waktu anak saya sedang bermain PS (playstation) dengan kakaknya. Anak saya juga sempat kaget waktu mendengar ada bom meledak di Tentena. Kok sekarang anak saya masuk dalam daftar buronan. Saya tidak terima," ujar Iis.
Senada dengan Iis, Ny Munfiatun juga menentang rencana penangkapan polisi terhadap suaminya, M. Nasir, yang dituduh terlibat perampokan. Sebab, katanya, saat terjadi perampokan, suaminya sedang salat di rumah.
"Kami ini sudah susah. Rumah kami dibakar. Keluarga kami ada yang dibunuh. Sekarang semuanya sudah tenang, suami saya dikejar-kejar. Sejak dijadikan buron, suami saya menghilang dan tidak pernah pulang sampai sekarang. MasyaAllah," ucapnya sambil mengusap air matanya yang meleleh.
Sedikitnya ada delapan keluarga yang berkumpul kemarin. Intinya, mereka tidak terima dengan rencana penangkapan terhadap keluarganya yang masuk DPO. Mereka juga menganggap pengumuman daftar DPO yang dilakukan polisi tidak memedulikan asas praduga tak bersalah. Pihak keluarga juga mengalami tekanan psikologis.
"Kami melihat bahwa penetapan DPO ini hanyalah upaya polisi untuk mengalihkan kasus penyerangan di Tanah Runtuh yang menewaskan seorang warga sipil. Juga sebagai upaya legitimasi aparat karena tidak mampu memberi rasa aman,’' kata Yunus Ghofur membacakan pernyataan.
Bagaimana jaminan polisi yang tidak akan menganiaya dan mempermudah akses bertemu jika para DPO itu ditangkap? Mereka pun tidak percaya. "Kita tidak ingin seperti yang sudah terjadi. Ditangkap dan digebuki. Malah ada yang setelah digebuki dilepas karena tidak terbukti. Padahal kondisinya sudah babak belur," kata Ny Rusmin.
Menurut para keluarga DPO itu, polisi dinilai masih belum adil dalam menangani kasus di Poso. Mereka menyebut sampai sekarang polisi juga belum menindaklanjuti dugaan keterlibatan 16 nama yang disebut Tibo dalam serangkaian aksi kekerasan di Poso.
"Kalau mau adil. Tangkap juga 16 nama yang disebut Tibo sebelum dihukum mati. Itu baru adil. Jangan hanya kalau kelompok kita ini saja yang dikejar-kejar terus. Mana tindaklanjut dari pengungkapan 16 nama itu," teriak Ny Sakinah.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Sutanto menegaskan, Polri akan melakukan upaya paksa berupa pengejaran dan penyidikan 29 orang tersangka kerusuhan Poso. Upaya paksa dilakukan karena upaya persuasif dengan kelompok masyarakat yang dipimpin Ustad Adnan Arsal tidak membuahkan hasil.
”Tentu kita upayakan segera bisa kita lakukan upaya
paksa (pengejaran dan penangkapan), sehingga bisa kita lakukan upaya penyidikan sampai dengan diteruskan
ke penuntut umum,” tegas Kapolri usai sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden kemarin.
Sutanto mengatakan, Polri selama sepekan terakhir menempuh upaya persuasif yakni bekerja sama dengan Ustad Adnan Arsal. Pemimpin pesantren di Tanah Runtuh itu sebelumnya berjanji akan menyerahkan 29 orang yang masuk daftar DPO tersangka pelaku kerusuhan Poso.
”Tentu kita lakukan langkah hukum yang dibenarkan dalam KUHAP. Saat ini sedang berjalan upaya persuasif dan penegakan hukum di lapangan. Petugas di lapangan tetap mencari pelaku dimana pun berada. Kita kan punya intelejen yang akan melakukan pengejaran,” tegasnya.
Kapolri menegaskan, Polri tidak akan meladeni tawar-menawar dengan Adnan Arsal yang sebelumnya menjanjikan akan menyerahkan 29 tersangka bila Polri juga menindak 16 nama yang disebutkan Fabianus Tibo Cs sebelum dieksekusi. ”Saya kira dalam hukum tidak ada bargaining, siapa pun yang melanggar hukum pasti akan kita tangani. Tolong jangan mengesampingkan persoalan hukum,” paparnya.
Kapolri menilai tawaran itu hanya upaya mengulur waktu. Pasalnya, Polri telah menyelidiki 16 nama yang disebut mendiang Fabianus Tibo berada di balik kerusuhan horizontal di Poso dan tidak menemukan bukti keterlibatan mereka.
”Ternyata Tibo mendapatkan nama-nama itu di dalam penjara. Dia tidak menyaksikan secara langsung, hanya katanya-katanya. Setelah dicek tidak demikian, dan sebagian juga sudah menjalani proses hukum,” terang Kapolri.
Menanggapi syarat lain berupa jaminan perlindungan bagi tersangka yang diserahkan, Kapolri menjamin tersangka tidak akan disiksa selama berada di tahanan. ”Pasti kita jamin. Siapa pun jangan sampai ada yang tidak terlindungi. Apalagi dia berbuat untuk kepentingan yang lebih besar,” tegasnya.
Polri sendiri tidak akan melakukan proses hukum pada Ustad Adnan Arsal bila tidak bisa menyerahkan nama-nama yang masuk dalam DPO Polri. ”Dia kan sifatnya membantu poliri. Kecuali kalau dia tahu tapi tidak memberi tahu, itu lain masalahnya. Kita kan minta bantuan. Kalau dia tidak tahu, tidak bisa membantu, itu kan lain,” papar Sutanto.
SUDAH PROSEDUR
Kendati Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Menko Polhukam baru saja turun ke lapangan, Mabes Polri menyatakan tak ada kesalahan prosedur yang dilakukan polisi di Poso. Termasuk dalam peristiwa bentrok antara sekelompok warga dengan aparat Brimob di kawasan Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso Kota, pada 22 Oktober silam yang menyebabkan tewasnya Syaifuddin.
Penegasan itu disampaikan Irwasum Polri Komjen Pol Yusuf Manggabarani dan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Gordon Mogot saat dicegat wartawan di tangga Gedung Rupatama Mabes Polri secara terpisah kemarin sore. ”Tidak ada kesalahan prosedur. Semua baik-baik saja. Sisanya tanya pada Humas,” kata Gordon yang dicegat pertama.
Yusuf, yang ditunjuk Kapolri untuk mengawasi tim investigasi internal Polri untuk kasus Tanah Runtuh, kemudian membeberkan keterangan Gordon itu. Lulusan Akpol 75 ini baru kembali dari Poso Senin pekan lalu.
”Saya mengawasi tim yang ada di sana. Mulai dari Polda hingga tim Densus 88 apakah mereka bekerja secara prosedural.” ujar Yusuf. Hasilnya kegiatan mereka dinyatakan sudah sesuai profesi mereka. Namun ada evaluasi di sejumlah aspek. Misalnya materiil, keuangan, sistem dan metode.
Saran itu tak akan mengubah kebijakan Mabes Polri untuk tetap menempatkan sejumlah jenderalnya di Poso. ”Mengapa harus dikeluhkan? Justru dengan banyak jenderal di Poso harus bersyukur karena banyak pemikir,” tambahnya.
Sebelumnya Ketua Forum Silaturahmi Persaudaraan Umat Islam Poso yang juga pengasuh Ponpes Al-Amanah Poso Ustad Adnan Arsal menyatakan dalam kasus Tanah Runtuh polisi tidak bekerja profesional. Mereka pun sempat menuntut Brimob BKO dan jenderal-jenderal polisi untuk ditarik dari Poso. Yusuf menjawab, ”itu omongan dia. Tanya ke dia. Ini jelas prosedural.”
Penilaian Irwasum ini sudah dipasok pada Kapolri Jenderal Pol Sutanto yang kemudian langkahnya untuk tidak menarik aparat Brimob BKO di sana. ”Tidak ada di Republik kita ini polisi bisa ditarik. Ini yuridiksi nasional dimana hukum berlaku, tentu polisi berhak di sana,” lanjut Yusuf.
Mengomentari warga Poso yang tidak simpatik pada polisi, menurut Yusuf, itu karena semenjak awal mereka tidak tertib hukum. Mereka terganggu dengan kehadiran polisi sehingga tidak simpatik. Jumlah mereka yang tidak simpatik ini minoritas dibandingkan yang bersimpati. (noe/naz/sup/cr5)

No comments: