Wednesday, November 08, 2006

RS, Rabu, 8 November 2006
DPO Polisi Menghilang

POSO- Ancaman polisi yang akan menangkap paksa 29 DPO (daftar pencarian orang) kasus kekerasan di Poso, kemarin, ternyata tidak terbukti. Sebab para DPO yang mayoritas masih anak-anak muda itu mulai menghilang dari Poso.
Belum jelas ke mana mereka bersembunyi dan melarikan diri. Yang terang, sejak polisi mengeluarkan daftar DPO dan memberikan deadline seminggu kepada mereka untuk menyerahkan diri dengan diantar keluarga maupun tokoh masyarakat, keberadaan mereka tidak lagi diketahui di Poso.
"Saya sendiri tidak tahu di mana mereka. Sebelumnya memang terkadang masih muncul. Tapi, sejak ada ancaman polisi melakukan penangkapan paksa, mereka sudah tidak terlihat sama sekali," kata seorang warga yang tinggal di Jalan Pulau Jawa, kemarin.
Bila benar polisi memberikan deadline seminggu kepada para DPO tersebut, maka deadline itu habis kemarin. Kesanggupan keluarga maupun tokoh masyarakat untuk menyerahkan para DPO seperti yang pernah diungkapkan polisi nyatanya juga tidak terbukti.
Bahkan, ketua FSPUI (Forum Silaturahmi Persaudaraan Umat Islam) Poso Ustad Adnan Arsal membantah pernah menyanggupi polisi untuk menyerahkan para DPO. Dia hanya bilang ingin memediatori untuk mencarikan solusi yang terbaik dalam pengungkapan kasus-kasus kekerasan di Poso.
Begitu juga pihak keluarga DPO. Saat berkumpul di rumah Yunus Ghofur, seorang purnawirawan polisi di Jalan Pulau Kalimantan, Senin (6/11) lalu, mereka menolak mentah-mentah dan berjanji akan melakukan perlawanan habis-habisan bila polisi benar-benar menangkap paksa para DPO.
Sebab, keluarga para DPO itu belum yakin benar keterlibatan para pemuda yang disebut-sebut polisi terlibat dalam pembunuhan I Wayan Sukarsa, bendahara GKST Drs Tadjoja, pembunuhan Kepala Desa Pinepa, penembakan jaksa Ferry Silalahi, mutilasi terhadap tiga siswa SMK Kristen Poso maupun sejumlah kekerasan lain di Poso.
Dari informasi yang dihimpun Radar Sulteng, sebelum kejadian bentrok antara Brimob dan warga di kawasan Tanah Runtuh pada 22 Oktober 2006 lalu, para pemuda yang masuk DPO itu sebenarnya masih sering terlihat di Poso. Mereka bahkan masih beraktivitas seperti biasa.
Begitu juga setelah polisi mengumumkan adanya DPO, sebagian di antara 29 DPO itu juga masih sering kelihatan di Poso. "Malah Jumat lalu dua di antaranya masih Salat Jumat di Masjid Raya Poso. Mungkin mereka merasa bahwa tidak akan dilakukan penangkapan. Karena nama-nama yang diumumkan ditangkap itu adalah kasus lama, yang sekarang proses hukumnya sudah berjalan," kata seorang warga Poso Kota yang enggan ditulis namanya.
Saat Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bahrul Alam mengumumkan kepada wartawan tentang deadline seminggu, sebagian di antara DPO juga sempat masih terlihat di Poso. Namun sehari menjelang habisnya deadline (Minggu, 6 November 2006), mereka yang masuk DPO sudah tidak terlihat lagi.
"Sebagian dari mereka sebenarnya tidak takut ditangkap. Malah ada yang bilang, daripada ditangkap lebih baik mati dan jihad seperti pada kasus kerusuhan dulu. Cuma mereka memilih menghilang karena menjaga agar Poso kondusif saja, tidak ribut-ribut lagi yang akhirnya merugikan warga lainnya," sambung warga tersebut.
Dipaparkan, sebagian dari DPO itu memang ada yang terlibat kasus seperti yang dituduhkan polisi. Tapi keterlibatan mereka tidak langsung, ada yang sekadar hanya dititipi barang dan membantu saja. Karena itulah, ujarnya, mereka menolak keras rencana penangkapan polisi.
"Mereka tetap membanding-bandingkan penanganan polisi terhadap perkara yang melibatkan kelompok lain. Misalnya, kasus pembantaian di Sintuwu Lembah dan pembakaran Pondok Pesantren Walisongo. Masak hanya cuma tiga orang (Tibo, Marinus dan Domingus da Silva) yang melakukan. Inilah yang dianggap mereka tidak adil," katanya.
"Belum lagi pengungkapan nama-nama 16 orang yang disebut Tibo sebelum dieksekusi. Karena mereka yakin bahwa aksi yang dilakukan Tibo itu ada aktor intelektualnya. Tibo dan kawan-kawan hanyalah eksekutor saja," papar pria tersebut.
Sumber di kepolisian kemarin juga mengungkapkan bahwa polisi belum melakukan penangkapan paksa terhadap 29 DPO tersebut. Polisi sampai sejauh ini masih menunggu perkembangan lebih lanjut, termasuk terkait situasi Poso yang belakangan sudah mulai kondusif pasca bentrok antara Brimob dan warga di Tanah Runtuh yang menewaskan Syaifuddin alias Udin.
"Perintah penangkapan itu memang harus dilakukan. Tapi kan tidak asal tangkap, tapi tetap mempertimbangkan situasi dan kondisi. Kalau menangkap kemudian terjadi aksi kerusuhan massa lagi, kan percuma saja. Makanya tetap mempertimbangkan situasi dulu," kata sumber yang juga perwira pertama tersebut.
Diakui, Mabes Polri memang sudah mengeluarkan perintah keras agar para tersangka ditangkap. Bahkan, perintah itu turun langsung dari Kapolri Jenderal Pol Sutanto. "Tapi yang tahu situasi dan kondisi Poso ini adalah anggota di lapangan," paparnya.
Kabar penangkapan para DPO itu sendiri sempat berembus kabar di Poso. Bahkan, beberapa warga di sekitar Tanah Runtuh kemarin juga ada yang bersiap-siap bila sewaktu-waktu polisi datang melakukan penggerebekan. Ini karena sejak awal sebagian di antara aparat korps baju cokelat itu mengira para DPO berlindung di kompleks Tanah Runtuh yang dikenal sebagai kelompok garis keras.
Di tempat terpisah, Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) Sulteng Asludin SH saat dikonfirmasi tadi malam membenarkan bahwa belum ada penangkapan terhadap para DPO. Pihaknya sampai sejauh ini juga mengaku masih terus melakukan komunikasi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama Poso, yang salah satunya terkait dengan ancaman penangkapan tersebut. "Belum ada penangkapan," katanya.
Asludin kembali menegaskan bahwa 17 nama tersangka yang diumumkan polisi telah ditangkap adalah nama-nama lama. "Mereka yang ditangkap itu sudah diproses dan bahwa sudah kasasi. Kok dibuat kesan seolah-olah 17 itu baru ditangkap, kemudian diumumkan lagi DPO," katanya. (sup/cr5)

No comments: