RS, Kamis, 16 November 2006
Hasanudin Minta Maaf
Akui Terlibat Mutilasi Siswi, Bantah Sebagai Otak Pelaku
JAKARTA- Terdakwa kasus mutilasi tiga siswi di Poso, Hasanuddin alias Hasan, alias Slamet Rahardjo mengakui keterlibatannya dalam kasus yang didakwakan kepadanya. Meski demikian, dalam pembacaan eksepsinya yang ditulis tangan, Hasan keberatan dinyatakan sebagai otak pelaku seperti yang didakwakan jaksa.
Dengan sikap tenang dan pengucapan yang lirih, dia membaca eksepsi sebanyak delapan lembar yang ditulisnya sendiri. ''Surat dakwaan halaman 2 baris ke 24 tidak benar. Ide 'hadiah lebaran' datang dari Ustad Sanusi,'' ungkapnya dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin.
Tidak hanya ide, biaya operasional sebesar Rp500 ribu dan perintah yang diberikan pada Lilik Purwanto alias Haris dan Iwan Irano sebagai eksekutor juga berasal dari Ustad Sanusi. ''Saya tidak pernah bertanya pada Haris (soal proses eksekusi, Red) pake Bahasa Poso, saya kurang terbiasa pake bahasa Poso,'' tambahnya.
Hasan pun berdalih perannya adalah membiarkan teman-temannya melakukan tindakan keji tersebut, namun bukan sebagai otak pelaku.
Kepada Majelis Hakim yang dipimpin Binsar Siregar, Hasan mengatakan eksepsi yang dilakukannya bukan meminta legalitas atau dasar diperbolehkannya tindakan pembunuhan dan pemenggalan ketiga siswi SMK Poso. ''Keyakinan kami, agama kami pun tidak membenarkan tindakan tersebut,'' ungkapnya.
Selain itu, pria yang berdomisili di Poso tersebut mengaku menyesal atas perbuatannya dan meminta maaf kepada keluarga korban. ''Kami berjanji tidak akan mengulangi lagi dan ini yang terakhir,'' ungkapnya. Padahal sesuai dakwaan jaksa, Hasan diancam hukuman mati.
Terdakwa didakwa dengan dakwaan yakni dakwaan pertama primer pasal 14 jo pasal 7 UU No 15 Tahun 2003 tentang Terorisme dan subsider pasal 15 jo pasal 7 UU Terorisme. Dakwaan jaksa berlapis karena selain itu Hasan didakwa dengan pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat 1 kedua KUHP sebagai dakwaan primer. Dakwaan subsider, dia didakwa dengan pasal 338 KUHP.
Soal motif tindakan, pengajar pesantren tersebut mengaku hal tersebut adalah pembalasan bagi pembantaian umat muslim di Poso. Meski hal itu sudah dilaporkan ke aparat keamanan namun tidak ada tanggapan dan tindak lanjut dari mereka. ''Kemana aparat keamanan, kemana aparat penegak hukum, kemana peran pemerintah waktu itu,'' ungkapnya.
Penerbitan Keppres No 14 Tahun 2005 tentang Penanganan Poso secara komperehensif dinilainya terlambat karena persoalan Poso telah berubah menjadi konflik yang mengakar.
Sementara itu dalam eksepsi penasehat hukum dari Tim Pengacara Muslim (TPM) mengungkapkan kasus mutilasi yang dilakukan terdakwa dan teman-temannya hanya satu dari rangkaian kekerasan di Bumi Sintuwu Maroso.
Pengacara terdakwa mempersoalkan pemindahan kasus terdakwa ke Jakarta yang bukan merupakan locus delicti yang berasal di wilayah hukum Pengadilan Negeri Poso. Itu dinilai tidak sesuai dengan asas pengadilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. ''Mengapa kasus Tibo tidak diadili di Jakarta,'' ungkap pengacara terdakwa Fachmi Bachmid dan Asludin Hatjani dalam persidangan.
Selain itu surat dakwaan jaksa juga dinilai kabur (obscuur libel) karena tidak menguraikan secara cermat dan lengkap mengenai tindak pidana. Selain itu keterangan waktu (tempus delicti) dan keterangan tempat (locus delicti) juga tidak jelas. ''Nama terdakwa yang Slamet Raharjo ditulis sebagai Lilik Purwanto, dakwaan jaksa tidak cermat,'' tambahnya.
Sementara itu dua pelaku lain yang juga disidangkan, Koordinator lapangan Lilik Purwanto dan ketua penyergapan Irwanto Irano didakwa JPU dengan pasal berlapis. Dakwaan pertama, jaksa mempergunakan pasal 15 jo pasal 7 Perpu 1 Tahun 2002 jo pasal 1 UU 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Untuk dakwaan kedua primer, kedua terdakwa didakwa dengan pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Sementara dakwaan kedua subsider, pasal 338 jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Dakwaan ketiga primer, yakni pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP jo pasal 53 ayat 1 KUHP. Dakwaan ketiga subsider, pasal 338 jo pasal 55 ayat 1 ke satu KUHP jo pasal 53 ayat 1 KUHP. Dengan dakwaan ini kedua terdakwa menghadapi ancaman hukuman mati.
Mendengarkan kronologis dan dakwaan jaksa, kedua terdakwa tampak cengengesan, sikap yang jauh berbeda dengan Hasan yang tenang. Kendati ancaman hukumannya sangat berat kedua terdakwa dan penasehat hukumnya menolak untuk mengajukan eksepsi. "Kami tidak akan mengajukan eksepsi. Hal-hal yang prinsip akan kami sampaikan pada pledoi saja," penasehat hukum terdakwa Abubakar Raside. (ein)
Friday, November 17, 2006
Posted @ 1:15 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment