Ada Senyum di Liang Lahat
Tempo, Edisi. 36/XXXV/30 Oktober - 05 November 2006
Hawa pagi menggigilkan Palu pada Senin dua pekan lalu. Dari arah utara sebuah sepeda motor hitam meraung di kesenyapan Jalan Wolter Monginsidi. Penumpangnya dua pria bertutup muka ala ninja. Berhenti di bangunan nomor 76—toko material Sinar Sakti—pria di boncengan turun dari motor lalu mencabut pistol. Dua pelor mendesing. Dor, dor.… Satu butir menembus pelipis Irianto Kongkoli, 50 tahun. Pendeta itu roboh bersimbah darah tewas seketika.
Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, pun geger. Warga di sekitar lokasi kejadian menghambur ke jalanan. Istri si pendeta, Rita Kupa, 45 tahun, dan anaknya, Galateka Kupa, 4 tahun, luput dari maut. Keduanya berada di dalam mobil yang tengah menunggu di parkiran. Mereka menanti Kongkoli yang tengah berbelanja tegel keramik. Rita, ajun inspektur satu di Kepolisian Resor Palu, meloncat dari mobil mendekap erat suaminya. Dia menangis sejadi-jadinya. ”Pembunuh..., pembunuh,” teriaknya berkali-kali.
Sopir pendeta, Edce, lari mengejar para pelaku. Tapi motor pelaku lebih gesit. Lolos. Edce urung, lalu membopong jasad Kongkoli ke mobil untuk dilarikan ke Rumah Sakit Bala Keselamatan Palu.
Polisi segera mengantongi ciri-ciri pelakunya, dua pria berjaket kulit dan berjins abu-abu. Motor mereka adalah Honda Supra, berhelm standar tanpa kaca. Mulutnya ditutup kain. Tinggi badan penembak sekitar 160 sentimeter. Ciri-ciri itu, kata juru bicara Polda Sulawesi Tengah Ajun Komisaris Besar Muhammad Kilat, berdasarkan keterangan saksi.
Warga setempat mengenal Kongkoli sebagai Sekretaris Umum Ketua Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Dia juga salah satu deklarator Malino. Kongkoli dikenal dekat dengan tokoh-tokoh muslim. Sejak konflik meletik, dia dan Ketua Perguruan Islam Al-Khaeraat KH Yahya Alamrie selalu melakukan kampanye damai.
Ketika bom meletup di Poso pada 2002, dua pemimpin agama ini menyeru agar warga tak terpancing rusuh. Kongkoli banyak melakukan mediasi antara kelompok yang bertikai dan pihak birokrasi. Gubernur Sulawesi Tengah Bandjela Paliudju sepakat soal itu. Katanya, ”Setiap ada masalah, dia berkoordinasi dengan pemerintah.”
Insiden berdarah di Wolter Monginsidi 76 itu memutar ingatan warga akan tragedi yang menimpa pengurus Gereja Kristen setempat selama tiga tahun terakhir. Tiga pengurus Sulawesi Tengah tewas. Bendahara Umum R. Tadjoja dibunuh seusai kebaktian di Poso Pesisir pada 2003. Selang setahun, Pendeta Susianti Tinulele ditembak mati di Gereja Effatha Poso. Kini Kongkoli, putra Poso kelahiran Lombogia yang beranak tiga, tumbang bersimbah darah.
Jeis Montesori, karib Kongkoli saat membikin Resolusi Konflik Poso—sebelum Deklarasi Malino II, 2004—amatlah berduka. Dua hari sebelum sobatnya dibunuh, ia menerima pesan pendek dari telepon genggam sang pendeta: ”Jika besok kita bangun menyongsong hari baru, tebarkan senyummu pada sesama tanda syukur pada Dia.”
Senyum Kongkoli kini terkubur di liang lahat.
EKD, Darlis Muhammad (Palu)
Monday, October 30, 2006
Posted @ 9:17 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment