Pemerintah Dituntut Bentuk TGPF
Laporan Wartawan Kompas Reinhard Marulitua N
Kamis, 26 Oktober 2006 - 20:37 wib
PALU, KOMPAS--Ketua Forum Silaturahim Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso Adnan Arsal menuntut pemerintah untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Konflik Poso 1998-2000. TGPF itu sekaligus untuk mengungkap kasus bentrokan antara aparat polisi dengan warga Kelurahan Gebang Rejo pada Minggu lalu.
Kepada wartawan, Kamis (26/10), Adnan mengatakan, TGPF Poso sudah sangat mendesak karena sampai saat ini Konflik Poso dan aksi-aksi kekerasan pascakonflik tidak pernah terungkap. "TGPF akan mengungkap dan meluruskan berbagai fakta konflik Poso maupun aksi-aksi kekerasan bersenjata yang selama ini banyak direkayasa," katanya.
Adnan mensinyalir, aparat TNI dan polisi terlibat dalam konflik Poso dan selama ini hal itu ditutup-tutupi. "Karena itulah pemerintah tak kunjung membentuk TGPF karena tidak ingin keterlibatan TNI dan Polri terungkap," ujar Adnan.
Menanggapi tuntutan itu, Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju mengatakan, ia setuju dengan pembentukan Tim Independen untuk mengungkap kasus bentrokan polisi dan warga Gebang Rejo. Namun, mengenai TGPF Poso adalah wewenang pemerintah pusat karena membutuhkan payung hukum setingkat Keputusan Presiden.
"Pemerintah Provinsi Sulteng akan membentuk tim independen kasus Gebang Rejo yang anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh di luar Poso tetapi masih di wilayah Sulteng," kata Paliudju.
Penyebab bentrokan polisi dengan warga Gebang Rejo yang menyebabkan seorang warga tewas tertembak itu sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Versi polisi menyebutkan bentrokan terjadi karena warga Gebang Rejo lebih dulu menyerang Pos Polisi Masyarakat dan membakar sebuah truk dan tiga sepeda motor polisi.
Sedangkan Adnan mengatakan, justru polisi yang memulai penyerangan dengan mengepung Tanah Runtuh dari segala penjuru. Tanah Runtuh adalah lokasi Pondok Pesantren Amanah pimpinan Adnan Arsal yang terletak di tengah-tengah Gebang Rejo.
Bentrokan antara polisi dan warga di Gebang Rejo adalah yang kedua kalinya terjadi di Poso dalam sebulan terakhir. Akhir September lalu, ratusan massa di Kecamatan Pamona Timur, Poso, tiba-tiba melempari helikopter yang dinaiki Kepala Polda Sulteng dan kemudian merusak Markas Kepolisian Sektor Pamona Timur serta membakar sejumlah sepeda motor dan mobil polisi.
Satu hari setelah bentrokan itu, empat buah bom meledak di Poso dan diikuti dengan beredarnya informasi yang provokatif sehingga mengakibatkan sekitar 3.000 warga Kelurahan Sayo hampir bertikai dengan warga Kelurahan Kawua.
Rangkaian peristiwa kekerasan di Poso juga merambat ke Palu, Ibukota Sulteng. Senin (16/10) lalu, Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Irianto Kongkoli tewas ditembak ketika sedang berbelanja dengan anak dan istrinya.
Polisi mengidentifikasi bahwa pelaku penembakan Kongkoli berasal dari sebuah kelompok terorganisasi dan sangat ahli dalam melakukan tindak kekerasan. Kelompok itu adalah Kelompok Hasanuddin yang pada Juni lalu ditangkap di Palu dan mengaku sebagai pelaku sejumlah pembunuhan, penembakan, dan pemboman di Poso maupun di Palu.
Mengenai tuntutan sekelompok masyarakat agar personel polisi ditarik dari Poso, Paliudju mengatakan itu adalah wewenang pemerintah pusat. Lebih lanjut Adnan mengatakan, pemerintah juga perlu memfasilitasi agar para Deklarator Malino dapat bertemu kembali untuk membicarakan berbagai persoalan di Poso akhir-akhir ini.
Adnan menegaskan, semua peristiwa yang terjadi di Poso akhir-akhir ini bukanlah konflik horizontal tetapi konflik antara warga dengan aparat keamanan. Adnan memperkirakan, konflik vertikal itu akan meningkat apabila pemerintah tidak segera membentuk TGPF Poso.
Friday, October 27, 2006
Posted @ 11:00 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment