RS, Kamis, 19 Oktober 2006
Sosok Pemersatu Umat, Akrab dengan Siapa Saja Irianto Kongkoli di Mata Orang-Orang Terdekatnya
Terjangan timah panas pada Senin pagi, 16 Oktober 2006, adalah episode terakhir kehidupan seorang rohaniawan Pendeta Irianto Kongkoli, yang mendedikasikan hidupnya selama 42 tahun bekerja di ladang Tuhan. Di mata rekannya sesama pendeta maupun anggota jemaat kepergian figur yang dikenal sangat familiar itu membawa duka yang amat dalam. Berikut penuturan mereka.
LAPORAN: YARDIN HASAN
''KEMATIAN pasti akan datang kepada semua mahkluk. Tidak bisa ditunda atau dimajukan oleh kekuatan apapun. Tapi apakah harus dengan cara ini,'' celetuk Panus salah satu anggota jemaat di Gereja Anugerah, tempat dimana Pendeta Kongkoli sekeluarga terdaftar sebagai anggota jemaat.
Panus yang sejak sore (16/10) telah berada di rumah duka Jalan Tanjung Manimbaya mengaku, kali terakhir pendeta dengan perawakan tinggi besar itu membawakan ibadah Minggu pada 13 Agustus 2006 silam. ''Itulah kali terakhir Pak Pendeta memimpin ibadah setelah itu tidak ada lagi,'' ucapnya.
Walaupun terdaftar sebagai anggota jemaat di Gereja Anugerah, namun Pendeta Kongkoli sering pula memimpin ibadah di beberapa gereja di bawah naungan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang ada di kota Palu.
Panus bahkan masih mengingat materi khotbah yang dibawakan Kongkoli kala itu. ''Intinya, beliau menekankan pentingnya, menjaga kebersamaan sebagai sesama hamba Tuhan,'' ucapnya lancar.
Bagi jemaat di Gereja Anugerah sosok Kongkoli tidak sekadar sebagai pendeta yang melakukan pelayanan kepada jemaatnya. Di luar itu, aku Panus, Kongkoli adalah sosok yang akrab dan mudah bergaul dengan siapa saja.
Rekan Kongkoli di GKST, Pendeta Renaldy Damanik mempunyai kesan yang sangat dalam terhadap Sekretaris Umum GKST yang disebut-sebut bakal diplot menggantikan Damanik yang mengundurkan diri dari kursi Ketua Sinode GKST itu. Ini karena pertemanan yang mereka jalin sudah berlangsung 27 tahun sejak 1979 silam.
Kala itu, tutur Damanik, dirinya baru saja datang dari Medan dan kemudian masuk SMA di Tentena. Beberapa waktu kemudian ia mengenal anak muda yang kemudian dikenalnya sebagai Irianto Kongkoli. Lulus dari SMA di Tentena, keduanya melanjutkan ke sekolah teologia di Makassar dan sempat aktif di senat mahasiswa.
Sebagai aktivis, menurut mantan Ketua Krisis Center Tentena itu, Kongkolo sangat vokal dalam menyuarakan kepentingan-kepentingan mahasiswa. Kebiasaan kritisnya bahkan terbawa hingga akhir hayatnya.
Selesai pendidikan di sekolah teologia, tiga tahun kemudian mereka diangkat menjadi majelis GKST di Tentena. Satu sifat yang tak pernah hilang dari almarhum Kongkoli, urai Damanik, adalah sifat terbuka, blak-blakan dan suka bercanda.
Sifat aslinya itu kembali diperlihatkannya saat rapat Sinode GKST yang membahas pengunduran dirinya dari kursi ketua GKST. ''Sampai saya mati pun saya tidak akan menandatangi persetujuan pengunduran diri Pak Damanik,'' tandas Kongkoli sambil memukul meja sidang.
Semua peserta rapat tertegun menyaksikan tindakan Kongkoli tersebut. ''Dan ternyata benar, sampai dia tewas pun dia tidak pernah membubuhkan tandatangannya,'' urai Damanik yang terlihat tegar atas kepergian sahabat seperjuangannya itu.
Di kalangan warga dan tokoh-tokoh GKST, sosok ini juga dikenal merakyat. Itu terlihat ketika pemilihan sekretaris umum GKST, perolehan suara nyaris mencapai 100 persen. Itu karena dia sendiri tidak memilih dirinya.
Sebagai seorang yang sudah berikrar mengabdikan dirinya untuk kepentingan gereja, Kongkoli tidak pernah mengeluh ketika mendapat tugas berat. ''Biasanya ketika beliau sedang di Palu, saya suruh ke Morowali untuk melakukan pelayanan di sana. Saat itu juga almarhum langsung berangkat tanpa bertanya harus naik apa,'' beber Damanik yang matanya tampak sembab ketika mengingat kenangan manis bersama almarhum.
Rekan satu tim Irianto Kongkoli, Pendeta Erna Lagarense juga mengakui GKST kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. ''Jarang ada figur yang bekerja total untuk kepentingan umat seperti beliau. Kami ikhlas dia pergi sekalipun dengan cara seperti ini,'' tutur sekretaris II Sinode GKST ini.
Almarhum adalah rekan kerja dan sahabat yang baik. ''Jika mengingat masa-masa indah itu seolah-olah beliau masih berada di tengah-tengah kita,'' ucap Erna sambil menoleh tubuh rekannya yang terbujur kaku di peti jenazah.
Kenangan itu ikut pula dirasakan oleh Pendeta Jemaat Anugerah, Agustinus. Pembawaannya yang suka bercanda itu menurut pendeta muda ini membuat orang menjadi terhibur dengan ucapan-ucapannya.
Kongkoli, peraih Magister Islamologi di Universitas Duta Wacana di Jokjakarta diakui Erna Lagarense dan Renaldy Damanik mempunyai kontribusi besar dalam memperjuangkan perdamaian di tanah Poso.
Sayangnya, terjangan timah panas yang merobohkan tubuh besarnya pada pagi 16 Oktober lalu membuat dirinya tak bisa lagi mewujudkan obsesinya. Yakni mewujudkan perdamaian hakiki di Bumi Sintuwu Maroso.***
Thursday, October 19, 2006
Posted @ 4:00 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment