RS, Kamis, 26 Oktober 2006
Selamat Jalan Sang Martir Tanah Poso; Pdt. Irianto Kongkoli!
Oleh: Rikson Towengke*
"PUCUK di cinta ulam tiba", barangkali pepatah itu cocok bagi para pembenci kedamaian yang sudah lama berniat mengapuskan nama Pdt. Irianto Kongkoli dari waiting list (daftar tunggu) yang mencantumkan nama tokoh-tokoh penting GKST. Upaya perburuan seorang Kongkoli berakhir sudah setelah beberapa kali gagal walau tetap ada penggantinya. Tahun 2003 sudah di'bidik' ketika akan melakukan tugas pelayanan umat di desa Dewua (Poso Pesisir Selatan) namun karena berangkat lebih awal beliau luput namun naas bagi Drs. Oranye Tadjodja (Bendahara GKST) dan keponakannya yang juga berangkat ke arah yang sama harus menerima kenyataan mengalami kematian tragis dari perlakuan barbar sekelompok orang teroganisir. Tidak berhenti disitu, tahun 2004 Pdt. Kongkoli mendapat jadwal memimpin ibadah di GKST Jemaat Effata Palu namun karena tiba-tiba berhalangan digantikan oleh Pdt. Susianty namun karena pemburu Kongkoli tidak dapat bocoran mengenai perubahan ini rencana yang sudah dimatangkan segera dilaksanakan yang pada akhirnya memasukan nama Pdt. Susianty Tinulele sebagai deretan para martir dalam lingkup GKST. Seolah tak kenal menyerah para pemburu Kongkoli terus berupaya mengejar target mereka. Ketatnya pengamanan di Poso dan Palu bukan halangan berarti bagi mereka, ibarat Christianto Ronaldo menggocek bola melewati ketatnya pemain belakang lawan dan membuahkan gol demikianlah para pemburu Kongkoli dengan lihai menyiasati ketatnya penjagaan aparat. Akhirnya upaya mereka membuahkan hasil, pagi hari tanggal 16 Oktober 2006 jam 08.15 seolah meledek petugas mereka melakukan aksinya nyata-nyata pada siang hari dan di tengah area ramai dengan berani dan berdarah dingin bak adegan dalam film godfathernya Alpacino menghabisi Pdt Kongkoli didepan mata istri dan anaknya. Motif apa di balik perjalanan panjang perburuan seorang Kongkoli? Sulit untuk merunutnya satu persatu, terlalu banyak simpul yang harus diurai. Berbagai analisa memang banyak muncul apalagi dikaitkan dengan ketokohannya sebagai orang yang lantang bersuara tentang perdamaian Poso. Dan yang pasti para intelijen yang menangani Poso setidaknya banyak mengetahui link dan sepak terjang kelompok teroganisir itu apalagi di media masa Polisi berani menyatakan bahwa Pemburu Kongkoli punya mata rantai dengan penembak Pdt. Susianty yakni kelompok Hasanudin Cs yang kini mendekam dalam tahanan Mabes Polri walau menurut hemat penulis pendapat itu terlalu prematur. Tetapi sekiranya hal itu benar, itu hanya merupakan salah satu tentacle (kaki) dari seekor gurita raksasa bukan gurita itu sendiri. Dan yang sangat urgen bagi pemerintah khususnya bukan hanya membekuk jaringan teroganisir yang diduga, dan tidak selalu dengan metode security approach yang sering mendapat kecaman. Perlu kecermatan dan pemahaman kultur histori memadai yang kongkrit dan komprehensif akan akar permasalahan tragedi kemanusiaan yang secara khusus di Poso dan yang sudah berbias ke Palu sebab yang ada selama ini hanya sekadar lip service saja. Sangat kuat dirasakan bahwa ada pihak tertentu bertindak ibarat pisau tajam dua sisi. Disatu sisi menyuarakan perdamaian disisi lain bertindak over acting dengan mengedepankan paham sektariannya yang justru meresahkan pihak lain. Sementara itu di sisi yang lain lagi ada pihak yang cenderung ragu dan mengeneralisir stigma buruk kelompok satunya dan semakin tidak mudah percaya kinerja piranti hukum (mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai kehakiman) karena bukti empiris yang dirasakan cenderung sangat diskriminatif. Dan masing-masing pihak dalam hal ini mengklaim yang paling dirugikan. Kalau sudah demikian sampai kapanpun langit Poso tidak akan pernah cerah, awan mendung pasti akan terus bergelayut. Dari pendapat ini berarti kesalahan tidak sepenuhnya harus ditimpakan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Poso tetapi juga kepada perangkat hukum (baca : Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) yang semestinya dalam memutuskan suatu keputusan hukum tidak hanya seenaknya mengaplikasikan pasal-pasal dalam KUHP tanpa dalam-dalam mempelajari segala latar belakang dari sudut pandang psiko-sosial dan akar budaya setempat. Deklarasi Malino yang dianggap dapat menjadi solusi perdamaian di Poso sudah berkali-kali dicedarai dengan berbagai teror bom dan penembakan tetapi dalam penyelesaiannya terlalu kasat mata terlihat tarik menarik yang kuat antara penegak hukum dan tangan-tangan tidak terlihat (invisible hand). Contoh yang masih segar dalam ingatan kita adalah proses hukum Tibo Cs yang membawa dilema yang sifatnya seperti makan buah simalakama, dijalankan ada eksesnya tidak dijalankan juga ada eksesnya, kenapa? Karena keputusan ditingkat awal berlanjut sampai penolakan grasi diputuskan sangat terburu-buru dan ceroboh. Tetapi hal itu percuma dipolemikan sebab Tibo Cs sudah tenang disisi Sang Khalik. Persoalan yang kembali muncul adalah gejolak sosial yang merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat khususnya dari pihak yang selama ini secara realita terus merasa dirugikan dan selalu terpojok. Reaksi spontan dan anarkis dalam peristiwa Taripa dan penghadangan dua warga Masamba yang akhirnya terbunuh bukan hanya sekadar reaksi atas eksekusi Tibo Cs seperti yang banyak diberitakan, peristiwa itu hanya klimaks pelampiasan rasa kekecewaan dari banyak hal yang tidak mendapat perlakuan hukum sebanding, dan yang hingga kini belum jelas penyelesaian proses hukumnya. Ada beberapa contoh yang terlihat secara kacamata awam, penembakan jaksa Ferry Silalahi, Novlin Palinggi dan Ir. Pudji, Pdt. Susianti, dan pemilik Toko Mas di Jl. Monginsidi Palu sampai sekarang tidak jelas. Kemudian kilas balik vonis yang menimpa Roy Bisalemba karena tawuran yang menyebabkan lawannya tergores di tangan dipakai sebagai media provokasi awal kerusuhan Poso tahun 1998 dan dalam putusan hakim harus mendekam ± 7 tahun di LP Petobo sedangkan yang menghilangkan nyawa Gerald Polii (anggota DPRD Poso dari PDIP) secara terencana hanya menjalani lebih setahun dari 4 tahun putusannya. Demikian pula kasus penghadangan Oranye Tadjodja dan keponakannya kemudian dibunuh massa di daerah Tabalu Poso Pesisir, pelakunya hanya menjalani hukuman penjara satu tahun. Dan banyak lagi kasus-kasus bernuansa SARA yang pengungkapan dan perlakuannya sangat berat sebelah. Dan sampai kini aparat kehabisan akal membongkar kelompok pembuat bom profesional yang bergentanyangan di Poso yang terakhir menelan korban di Tangkura dan Kawua, padahal kini sekitar 3 batalion aparat yang dikerahkan di Poso. Dari sisi yang satu, tuntutan penuntasan tragedi kemanusiaan di Kilo Sembilan dan Buyu Ngkatedo yang dianggap masih ada aktor-aktor yang belum tersentuh hukum sehingga menyisakan dendam yang bermuara pada kasus-kasus penembakan dan mutilasi orang-orang tidak bersalah dan terakhir pada peristiwa penembakan Pdt. Irianto Kongkoli yang terus menjadi target sampai di Palu pun. Kalau demikian penegakan hukum yang bagaimana yang sebenarnya ideal? Kata ideal sebenarnya tidak ada standarnya tetapi dapat diejawantahkan lewat sistematika hukum obyektif sebab dalam kerangka psikologis bawah sadar kaum minoritas (sebenarnya dalam konteks NKRI yang sesungguhnya istilah mayoritas dan minoritas tidak perlu ada) ada perasaan sangsi dan ragu pada aparatur hukum yang tak bisa disangkal didominasi kaum mayoritas karena bagaimanapun juga seobyektif bagaimanapun seseorang tetap dalam jiwanya ada sisi subyektifitas yang melekat yang sewaktu-waktu dapat mempengaruhi sifat obyektifnya apalagi bersentuhan dengan hal-hal yang menurutnya sakral. Oleh karena itu kembali pada kasus penembakan Pdt. Irianto Kongkoli hendaknya disikapi dengan sangat serius dan luar biasa oleh aparat tingkat daerah (Kapolda) bahkan pusat, sebab seorang penjahat sekalipun apabila dibunuh seperti binatang hati nurani kita pasti menolak apalagi ini seorang tokoh agama yang nyata-nyata menjadi panutan banyak orang dan merupakan simbol religi penganutnya dibunuh dengan sangat biadab. Penulis sangat sependapat dengan pernyataan Ustadz Adnan Arsal tokoh Muslim berpengaruh di Poso bahwa pelakunya bukan orang beragama, walau mungkin dalam KTPnya tertulis nama agama yang diakui negara. Karenanya Pak Kapolda jangan ragu bertindak secepatnya, kembalikan kepercayaan golongan masyarakat tertentu yang menjadikan anda buah bibir yang kurang sedap. Kalau boleh Pdt. Irianto Kongkoli merupakan nama terakhir tercoret dalam daftar tunggu para pembenci kedamaian, gagalkan coretan berikutnya yang mungkin mencantumkan tokoh-tokoh lain. Belajarlah dari pendahulu anda yang mendapat simpati sampai akhir tugasnya di Sulteng dan tunjukan bahwa anda orang yang layak dapat bintang namun jangan itu yang menjadi motivasi sebab satu bintang bersinar untuk sementara cukup dulu, mengejar bintang berikutnya diatas duka lara orang lain konotasinya kurang enak. Prioritaskan dulu kepentingan negara. Penulis tidak sependapat dengan metode punish and reward dari beberapa organisasi, kalau berhasil naik pangkat dan kalau tidak turun pangkat. Hal tersebut tidak sepadan dengan semangat kekesatriaan. Dan bagi umat sekeyakinan mendiang Pdt. Kongkoli hendaklah sejalan dengan ungkapan hati sang istri, jangan dendam tetapi mengampuni walau musuh sekalipun. Dan memang benar bahwa musuh sebenarnya bukan darah dan daging (baca: berujud manusia) tetapi kuasa roh-roh jahat yang merasuki manusia yang membungkus kejahatan dengan tindakan yang seolah-olah benar. Akhirnya, Selamat jalan kawan!!! rekan seperjuangan untuk damai tanah Poso, darahmu adalah darah martir sebagai benih yang akan tumbuh subur membentuk spirit patriotik generasi tanah Poso yang akan terus membahanakan dalam jiwa dan raga semboyan leluhur "Sintuwu Maroso" Poso yang aman, damai dan toleran. Damai Negeriku, Sejahtera Bangsaku.....!
* Rikson Towengke, Pengurus DPC FKGMP (Forum Komunikasi Generasi Muda Poso)
Thursday, October 26, 2006
Posted @ 2:57 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment