Monday, October 30, 2006

Petaka di Malam Takbiran
Tempo, Edisi. 36/XXXV/30 Oktober - 05 November 2006

Kerusuhan kembali membara di Poso. Polisi dan warga baku tembak. Pemerintah menuduh kerusuhan itu didalangi teroris.
Ahad pekan lalu mestinya menjadi pesta kemenangan tatkala ribuan umat turun bertakbir ke jalanan. Tapi di Poso, malam bahagia itu menjadi petaka. Listrik tiba-tiba mati. Lalu horor meletus. Warga Kelurahan Gebang Rejo baku tembak dengan polisi. Bunyi petasan yang kerap menghibur malam takbiran berganti salak bedil bersahut-sahutan.
Perang di kegelapan menewaskan Syaifuddin, warga setempat. Anak muda 21 tahun itu pergi sesudah peluru menghunjam lehernya. Tiga warga lain terluka. Reda di subuh hari, inilah perang terbuka yang kembali mengoyak kedamaian Poso, sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah yang sohor oleh kakao, kopi, dan cengkeh.
Petaka bermula dari razia polisi di Gebang Rejo. Enam belas polisi bersenapan menggeledah rumah, mencari Cholid Asyahab. Dua hari sebelumnya, si Cholid ini terjaring razia polisi yang gencar mencari pelaku penembakan Pendeta Irianto Kongkoli. Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah itu tewas ditembak di Palu, dua pekan sebelumnya (lihat boks: Ada Senyum di Liang Lahat).
Saat razia, Cholid lolos. Dia kabur ke Kampung Tanah Runtuh. Sepeda motornya dan sebuah tas tertinggal. Polisi curiga Cholid takut bertemu polisi. Tasnya digeledah. Ada dua kartu tanda penduduk dengan nama berbeda. Cholid Asyahab beralamat di Poso, dan Idrus Al-Habs di Lampung. Nah, menurut polisi, selama ini pembuat onar memakai identitas ganda.
Maka, Cholid pun diburu. Polisi memblokade desa. Warga dan pemuka agama tak diizinkan masuk wilayah sekitar razia. Ustad Gani Israel, seorang pemuka agama Islam di Poso, mengaku dilarang masuk wilayah itu. Ustad Sugianto Kamiuddin, juga tokoh agama setempat, bersaksi, ”Saya ditolak sambil ditodong senjata.”
Warga yang gundah memukul tiang listrik tanda bahaya. Bunyi bersahutan menambah kegentingan. Dalam sekejap, massa menyemut, lalu terjadi baku lempar. Enam belas polisi kewalahan. Dalam hitungan menit, seratus anggota Brigade Mobile (Brimob) datang membantu. Di tengah huru-hara, beredarlah isu tiga ratus anggota Brimob mengepung Pesantren Al-Amanah milik Ustad Adnan Arsal di Kampung Tanah Runtuh. Perang kian sengit dan Syaifuddin tewas.
Esoknya, warga yang mengantar jenazah Syaifuddin ke pemakaman menyerang markas Brimob di Jalan Seram. Polisi meletupkan salvo peringatan, tapi massa bergeming. Neraka di malam sebelumnya berulang. Galih Pamungkas, bocah 3,5 tahun, dan dua warga lain tersambar peluru karet. Kerusuhan berlanjut hingga malam hari. Gereja Eklesia dibakar. Sejumlah asrama polisi dilalap api. Polisi menetapkan dua pria berinisial Nas dan Bidin sebagai tersangka.
Polisi dan warga saling tuding soal penyebab rusuh. Polisi menuduh provokator menunggangi kerumunan warga dan menolak kehadiran polisi. Ustad Adnan Arsal tidak terima dengan tuduhan itu. Menurut Adnan, kerusuhan terjadi karena polisi mengepung pesantren miliknya dengan arogan. Polisi, menurut dia, juga kerap menuduh warganya pelaku kerusuhan. Jadi, ”Jangan diputarbalikkan faktanya,” Adnan menegaskan.
Setelah adem beberapa waktu, situasi Poso kembali memanas sesudah Fabianus Tibo dan kedua kawannya dieksekusi mati pada September lalu. Arham Badaruddiin dan Wandi Usman, warga Luwu Utara, Sulawesi Selatan, raib di Desa Taripa, Pamona, Poso Selatan, sehari sesudah eksekusi. Entah siapa yang menghabisi dua pemuda itu.
Brigadir Jenderal Badroodin Haiti, Kepala Polisi Sulawesi Tengah, meluncur ke Pamona mencari dua pemuda yang nahas. Rusuh meletup. Polisi menuduh dalangnya adalah ”provokator”. Siapa provokatornya, tak jelas. Yang jelas adalah ini: sesudah kisruh Pamona, Pendeta Kongkoli ditembak mati di Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah. Lalu meletuslah perang di malam takbiran.
Pemerintah amat yakin kisruh di Poso bukan lagi konflik horizontal, melainkan ulah segelintir kelompok yang mendompleng sentimen warga. Konflik antarwarga sudah tidak ada, ”Yang ada pelaku teror,” kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto. Wakil Presiden Jusuf Kalla idem ditto. Selama ini, kata Kalla, ”Masyarakat tidak lagi terpancing rusuh karena sentimen agama.”
Sejauh ini, polisi mensinyalir adanya kelompok Hasanuddin yang meneror Poso dan Palu dalam huru-hara terakhir di Poso. Hasanuddin dan tiga anggotanya sudah dibekuk pada 25 Maret lalu di Palu. Mereka disangka sebagai pembunuh dan pelaku mutilasi tiga siswi sekolah menengah umum di Poso, Oktober 2005. Empat orang ini ditahan di Markas Besar Polri. Menurut polisi, kawanan Hasanuddin mengaku meneror dengan bom dan pembunuhan di Sulawesi Tengah selama ini.
Repotnya, delapan anggota Hasanuddin masih buron. Salah satunya bernama Haris, yang dicurigai sebagai penembak Pendeta Kongkoli. ”Polisi menetapkan dia dalam daftar pencarian orang,” kata juru bicara Polda Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Polisi Muhammad Kilat. Itu sebabnya, polisi gencar merazia wilayah Gebang Rejo, tempat asal kelompok Hasanuddin.
Adnan Arsal berkukuh membantah tuduhan terhadap kelompok Hasanuddin. Mertua Hasanuddin ini tak percaya menantunya pelaku teror. Kalaupun tuduhan polisi terbukti, dia menolak pesantren miliknya dikaitkan dengan urusan itu. Kata Adnan: ”Jangan setiap ada apa-apa, kami selalu dikaitkan.”
Eduardus Karel Dewanto dan Muhammad Darlis (Palu)

No comments: