RS, Senin, 30 Oktober 2006
Pembusukan Kolektif
Oleh: Joko Riyanto*
ESKALASI kekerasan di Poso dan Palu yang sejak 2000 dilanda konflik antarkelompok masyarakat terus meningkat. Meski sebelumnya sering terjadi pengeboman sporadis, eskalasi kekerasan itu semakin terasa sejak eksekusi mati Fabianus Tibo dkk pada September lalu (Jawa Pos, 26/10/006).
Dalam konflik horizontal bernuansa SARA di Poso, ada kerusakan yang jauh lebih dahsyat daripada puing-puing yang kasat mata. Saling percaya di antara sesama warga hancur. Konflik antaretnis di Kalimantan Barat adalah realitas pahit dan gagalnya riwayat kesepakatan damai.
Ketika konflik pertama pecah pada 1970-an, langsung didirikan tugu perdamaian di sebuah kecamatan dengan ditandatangani kedua kelompok yang bertikai, disaksikan aparat pemerintah dan keamanan.
Konflik horizontal di Poso sudah berdimensi nasional, bahkan menjadi sorotan internasional. Tingkat keseriusan crimes again humanity yang terjadi di sana sudah di ambang kekhawatiran akan menjadi seperti di Maluku. Kerusuhan sosial seperti itu tentu tidak spontan. Ada rasa permusuhan antarkelompok yang sangat hebat. Tanpa disadari pihak-pihak yang bertikai, terjadi pembusukan kolektif.
Insiden awal biasanya individual. Namun bila tidak ditangani dengan cepat, tegas, dan baik, itu bisa berkembang ke isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Isu demikian tidak hanya memuat prasangka-prasangka primordial yang irasional. Yang lebih buruk lagi, itu melemahkan sendi-sendi hidup bermasyarakat. Pecahlah konflik horizontal dan orang tidak peduli lagi terhadap insiden awal. Emosi kelompok menjadi dominan. Solidaritas kelompok dengan cepat terbentuk karena kelompok lawan dianggap pihak yang sengaja mencari gara-gara.
Karena itu, penanganan insiden awal yang melibatkan warga dan kelompok-kelompok masyarakat yang punya sejarah konflik tidak boleh lambat. Massa dan salah satu kelompok dapat main hakim sendiri, yang tentu akan disusul aksi balasan massa atau kelompok lawan. Pada insiden awal, tindakan aparat keamanan yang terbaik adalah tetap tegas dan terukur meski bisa saja ada oknum atau kelompok yang tidak puas.
Dalam hal ini, institusi yang bertanggung jawab atas keamanan harus memberikan jaminan kepada oknum aparat yang sudah bertindak sesuai rules of engagement. Minimal tidak ada sanksi administratif. Maksimal ada penghargaan. Meski yang bersangkutan dimutasikan demi meredam protes sekelompok warga, yang bersangkutan hendaknya mendapat promosi agar aparat lain tahu bahwa tindakan itu benar dan patut ditiru.
Tindakan tegas pada insiden awal akan mencegah meluasnya konflik dengan efek yang jauh lebih baik bagi semua pihak. Sebagai agen rekonsiliasi, pemerintah daerah juga perlu mengupayakan kegiatan-kegiatan yang membangun kebersamaan untuk mengikis kesan negatif yang telanjur timbul bahwa kedua kelompok bermusuhan.
Upaya counter-image itu dapat dibentuk lewat kegiatan-kegiatan di kampung yang melibatkan semua kelompok. Misalnya, kerja bakti. Bersama-sama membangun kembali bangunan-bangunan yang hancur. Pemda pada awalnya perlu memfasilitasi pertemuan yang melibatkan tokoh-tokoh informal dari kelompok-kelompok yang bertikai sampai di antara mereka tercapai kesamaan visi dan tujuan membangun masyarakat.
Yang juga penting untuk mencegah pembusukan kolektif adalah upaya para tokoh masyarakat formal maupun informal untuk tidak membuat pernyataan-pernyataan yang mengandung stigma negatif untuk kelompok tertentu.
Dalam konflik bernuansa agama, tempat ibadah harus steril dari komentar-komentar insinuatif. Sebagai gantinya adalah imbauan-imbauan untuk hidup rukun, saling memaafkan, dan tidak mengungkit-ungkit masa lalu.
Harus diakui, pemda dan aparat keamanan di daerah konflik sering tidak mampu bertindak tegas pada insiden awal. Yang lebih ditakuti dan mampu bertindak tegas biasanya pasukan dari luar daerah yang didatangkan setelah kerusuhan meluas dengan fungsi seperti pemadam kebakaran.
Tentu itu bukan solusi ideal. Sudah sepantasnya daerah yang potensial dengan konflik bernuansa SARA dipimpin pejabat sipil dan keamanan yang dibekali pengalaman serta keterampilan menangani konflik. Dibutuhkan sentuhan tangan kepemimpinan yang dingin dan arif dari putra-putra bangsa yang terbaik.
Bila perlu, pemimpin di daerah belajar dari negara-negara seperti Sri Lanka atau India yang rawan konflik bernuansa SARA, yaitu belajar dari kegagalan dan keberhasilan mereka. Bukan kebetulan bahwa dua wilayah konflik di Maluku dan Poso terletak di Indonesia bagian timur yang relatif jauh dari pusat. Sudah waktunya perwira-perwira dan pejabat-pejabat terbaik ditempatkan di daerah-daerah konflik.
Di luar jangkauan pemerintah daerah dan asosiasi pers daerah adalah media massa di luar daerah konflik. Sejak era kebebasan pers dibuka dan jaringan internet yang amat mempermudah akses, ada saja pemberitaan yang cenderung sektarian dan provokatif. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan asosiasi pers nasional tidak dapat berdiam diri.
Betapa panjang jalan menuju rekonsiliasi sejati. Dibutuhkan upaya all out dari segenap pihak untuk memulihkan kerusakan dan kedamaian di Poso. Bila upaya itu sinergis, pembusukan kolektif tidak akan berkembang. Keyakinan warga bahwa mereka dapat kembali hidup berdampingan dengan rukun akan melahirkan Poso yang damai.
* Joko Riyanto, mahasiswa Fakultas Hukum UNS-Solo, peneliti muda pada Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
Tuesday, October 31, 2006
Posted @ 9:50 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment