Friday, October 27, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Konflik Tak Henti, Pendidikan di Sulteng Tertinggal

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) tampaknya harus bekerja keras.
Konflik yang berkepanjangan dan seakan tidak terselesaikan, makin lama akan membuat wilayah itu terpuruk dan tertinggal dari provinsi lainnya.
Akibat konflik itu, pembangunan terbengkalai, khususnya di bidang pendidikan. Tetapi, persoalannya, masalah mana yang perlu prioritas utama penanganannya. Tentu orang akan berpikir, penyelesaian konflik internal yang utama, kemudian baru persoalan lain.
Memang penyelesaian konflik ini sama pentingnya dengan pembangunan di bidang lainnya. Apabila konflik ini bisa diselesaikan, dengan sendirinya pemerintah bisa lebih berkonsenstrasi membangun bidang lain terutama yang terkait dengan pembangunan sumber daya manusia seperti pendidikan.
Namun pemerintah memang harus ekstra kerja, baik dalam konsep, kebijakan, maupun penyediaan sumber dana. Bidang pendidikan di Sulteng banyak kekurangannya, masih banyak faktor mendasar yang harus dibenahi, seperti pengadaan guru, pembangunan sekolah, maupun dana.
Apalagi secara geografis persebaran penduduk di Sulteng akan sangat menyulitkan pemerintah setempat membangun sebuah komunitas pendidikan yang tertata dalam satu sistem persekolahan. Terlepas dari berbagai kekurangan itu, ada kesan tidak mau kalah dengan daerah lain yang ingin diciptakan pemerintah. Di tengah sulitnya membangun wilayah Sulteng, pemerintah setempat justru membangun sekolah negeri bertaraf internasional mulai dari tingkat SD sampai pada SMA.
Kalau dilihat dari segi pembangunan fisik gedung sekolah internasional itu, terlihat sungguh luar biasa. Gedung sekolah baru tertata rapih, memiliki fasilitas olahraga pun cukup memadai, dan di sana sini masih terlihat pembangunan fisik sarana belajar, pengumuman atau pemberitahuan belajar-mengajar pun menggunakan bahasa Inggris.
Menyebut sekolah berbau internasional, kesan yang muncul adalah siswanya pun harus menguasai bahasa Inggris dengan didukung oleh guru-guru yang berkualitas dengan tingkat kemampuan dan keterampilan sesuai standar sekolah internasional. Namun, tampaknya ini tidak akan sepenuhnya tercapai.
Muncul pula pertanyaan, apakah perlu provinsi seperti Sulteng memiliki sekolah bertaraf internasional, mengingat sekolah berstandar nasional pun, dari berbagai segi, jauh tertinggal dari provinsi lainnya? Berbagai kekurangan yang ada ini tidak akan mungkin diatasi dalam waktu singkat.
Gubernur Sulteng HB Paliudju pada rapat soal pembangunan pendidikan di Palu Sulteng beberapa waktu lalu mengakui, di bidang pendidikan provinsinya sudah jauh tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Apalagi kalau bicara soal penyediaan dana, baik provinsi maupun kabupaten/kota menilai bahwa ini merupakan tugas yang sangat berat.
Alasannya, banyaknya masalah lain di luar dunia pendidikan yang juga membutuhkan prioritas untuk segera diatasi, misalnya, kemiskinan, kesehatan, penyediaan infrastruktur, dan penyelesaian konflik internal. Salah satu cara mengatasi kekurangan dana ini, dijalinlah kesepakatan bersama soal pembiayaan pembangunan pendidikan di Sulteng yang isinya pemerintah pusat menyalurkan dana sekitar Rp 486,4 miliar (60 persen), sedangkan provinsi menyediakan Rp 207,7 miliar (20 persen) dan kabupaten/kotamadya sebesar Rp 207,7 miliar lebih (20 persen).
Delapan Persoalan
Terlepas dari adanya dukungan anggaran, tapi menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) Uhrah Lamarauna, permasalahan pendidikan di provinsi ini, antara lain masih berkutat pada rendahnya angka partisipasi kasar (APK) maupun angka partisipasi murni (APM) anak usia sekolah, karena faktor kemiskinan dan geografis di daerah terpencil.
Persoalan lainnya, kualifikasi guru belum memenuhi kompetensi ideal dan penyebaran guru juga masih belum merata di wilayah tersebut. Masalah sarana dan prasarana bidang pendidikan juga belum sepenuhnya mampu mendukung meningkatnya mutu pendidikan di daerah ini, sehingga akan sulit bersaing dengan daerah-daerah lainnya.
Melihat kenyataan sekarang, Kadis Pendidikan menyimpulkan, paling tidak ada delapan persoalan utama bidang pendidikan di Sulteng. Pertama, rendahnya akses pendidikan bagi masyarakat di daerah terpencil. Kesulitan ini sebenarnya dipengaruhi oleh persebaran penduduk di berbagai wilayah provinsi ini, dan kemiskinan.
Sulitnya akses ini mengakibatkan penyelesaian wajib belajar sembilan tahun pun bisa terhambar juga. Kedua, menyangkut anggara pendidikan. Menurut Kadis, pemerintah daerah terkendala benar soal anggaran ini, semuanya serba terbatas.
Ketiga, menyangkut kualifikasi guru yang dianggapnya belum ideal. "Jauh dari memadai. Akibatnya kualitas pendidikan Sulteng menjadi terpengaruh juga. Kita pun menjadi sulit juga mengimbangi perkembangan kualitas daerah-daerah lain," ujar Uhrah Lamarauna..
Keempat, Sulteng terkendala oleh sarana dan prasarana belajar, salah akibat yang bisa dirasakan, Sulteng akan sulit memenuhi target pencapaian wajib belajar 9 tahun yang direncanakan tahun 2008-2009. Banyak gedung SD yang harus direhabilitasi. Ini bukti kalau sekolah-sekolah itu tidak layak dan sehat," ungkap Uhrah.
Di jenjang SMP/SMA, Sulteng membutuhkan pembangunan unit sekolah baru, selain merehabililtasi yang sudah ada. Pemerintah tidak mengabaikan hal ini, yang pasti membutuhkan dana besar. Kelima, di Sulteng masih tinggi angka buta aksara. Paling tidak, katanya, ada sekitar 40.500 orang, usia 10 tahun - 44 tahun, sedangkan dia atas usuia 44 tahun yang buta aksara sekitar 90.000.
Angka tersebut menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, masih tinggi. Untuk itu, sangat diharapkan pemerintah dan masyarakat termasuk semua elemen Sulteng diminta lebih giat, dan serius membangun bidang pendidikan, sehingga cepat mengejar ketertinggalannya.
Persoalan pendidikan yang kelima, tenaga guru. Menurut Uhrah, kualitas dan persebaran guru sangat tidak memadai. Keenam, yang masih memberatkan bagi pendidikan Sulteng adalah manajem berbasis sekolah.
Karena itu, pemerintah provinsi selalu mengusulkan kepada pemerintah kabupaten dan kota supaya sedapat mungkin merekrut kepala sekolah yang berkualitas. Ketujuh, terbatasnya anggaran yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten atau kota, mengakibatkan kemampuan merekrut kepala sekolah atau tenaga kependidikan pun menjadi terkendala juga.
Masalah kedelapan adalah rendahnya kesadaran masyarakat tentang pendidikan. Dalam hal ini diperlukan kerja keras pemerintah untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pendidikan.
Melihat kendala pendidikan yang begitu banyak, sampai-sampai Mendiknas berpesan agar wilayah ini, pemerintah dan masyarakat serius mengatasinya. Jangan terlalu terbuai oleh satu pesoalan, tetapi sebaiknya bersama-sama hidup berdampingan secara damai dan bertoleransi untuk menjadikan masyarakat lebih maju.
Energi yang ada lebih baik disalurkan membangun pendidikan di sana. "Kita semua tahu kenapa pendidikan di Sulteng, khususnya di Poso maupun di kabupaten lain di provinsi ini, kecuali kota Palu menjadi tertinggal," ujarnya.
"Jangan menjadikan pertikaian antarkelompok di Poso Sulteng menjadi berlarut-larut. Dampaknya pembangunan pendidikannya akan semakin tertinggal pula. Perseteruan itu banyak menghabiskan energi. Padahal, energi yang ada itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,'' Mendiknas mengingatkan. [Pembaruan/Edwin Karuwal]
Last modified: 27/10/06

No comments: