Saturday, October 28, 2006

Kompas, Sabtu, 28 Oktober 2006
TerorismeJangan Kubur Asa Warga Poso
REINHARD N

Saya masih ingat sama suami saya dan tidak bisa lupa bagaimana ia meninggal. Tetapi, kalau itu saja yang saya ingat, hati saya tidak bisa tenteram dan saya tidak bisa bekerja dengan baik. Masalah pun tidak akan pernah selesai," kata Supriyati (26) yang ditemui di rumahnya di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, awal pekan ini.
Supriyati salah seorang keluarga korban konflik Poso yang suaminya terbunuh. Tatkala Desa Sintuwulemba porak-poranda akibat konflik horizontal pada Mei 2000, Supriyati dan kedua orangtuanya mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri.
Setelah situasi tenang, keluarga Supriyati mengungsi ke Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Baru awal tahun 2005 mereka kembali ke Sintuwulemba untuk memulai kehidupan yang baru karena tanah mereka ada di desa itu.
Supriyati dan kedua orangtuanya yakin penyebab konflik Poso bukanlah karena perbedaan agama yang dianut warga Poso, tetapi karena ulah provokator yang memecah belah mereka dengan mengusung isu SARA.
“Waktu di hutan, saya yang Muslim masih ingat betul bagaimana tetangga-tetangga kami yang Kristen memberitahukan kami harus lewat mana. Kalau tidak, kami mungkin sudah mati," kata Supriyati. Ia juga melakukan hal yang sama, yakni memberitahu warga Kristen untuk menempuh jalur aman dari serangan perusuh.
Setelah setahun lebih kembali ke Sintuwulemba bersama 54 keluarga Muslim lainnya, Supriyati mengaku mereka telah membaur dan kembali hidup rukun dengan 53 keluarga Kristen yang lebih dulu kembali ke Sintuwulemba.
“Tidak ada saling curiga di antara warga Islam dan Kristen di Sintuwulemba. Dengan hidup rukun, kami merasa lebih tenang, aman, dan damai," tambah Supriyati.
Apa yang disampaikan Supriyati dibenarkan Oftis Farlin (31), warga Desa Sintuwulemba yang menganut agama Kristen. Menurut dia, warga Sintuwulemba tidak akan mau diadu domba. “Pertikaian hanya membawa kesengsaraan dan penderitaan. Yang kami inginkan sekarang hanya bagaimana kami dapat bekerja dengan tenang untuk menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak," kata Oftis.
Harapan datangnya perdamaian di Poso tidak hanya datang dari Sintuwulemba. Asa itu juga terlontar dari bekas wilayah konflik lainnya, seperti Desa Tongko di Kecamatan Lage, Desa Taunca di Kecamatan Poso Pesisir Selatan, dan Desa Kamba di Kecamatan Pamona Timur, Poso.
Tidak muluk-muluk
Apa yang diharapkan warga Poso ini bukanlah sebuah harapan muluk-muluk. Mereka hanya ingin menjalani kehidupan dengan tenang, aman, dan damai. Mereka hanya ingin bekerja dengan baik agar dapat menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Hanya itu!
Pahitnya kehidupan warga Poso pascakonflik horizontal 1998-2000, seperti keluarga yang tercerai-berai dan kemiskinan yang berkepanjangan telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi warga Poso. Karena itulah, mereka mempraktikkan makna sejati pluralisme dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, ketika semuanya telah mereka lakoni, perdamaian di Poso tak kunjung terwujud. Pascakonflik, warga masih terus mendengar, melihat, dan menjadi korban berbagai aksi kekerasan bersenjata, mulai dari penembakan, pemenggalan kepala, sampai peledakan bom di rumah ibadah dan pasar-pasar. Bahkan, di setiap bulan Ramadhan rentetan tembakan dan suara ledakan bom menjadi bunyi-bunyian yang akrab di kuping warga Poso.
Siapa dalang dari semua aksi-aksi itu serta apa motifnya masih kabur dan misterius. Pemerintah dan aparat keamanan hanya mengatakan, mereka ialah provokator-provokator yang ingin Poso rusuh, tanpa pernah menangkapnya.
Minggu lalu, bentrokan antara aparat polisi dan warga Keluarahan Gebang Rejo menambah daftar panjang aksi kekerasan di Poso. Bentrokan yang mengakibatkan seorang warga tewas belum diketahui persis apa penyebabnya. Kepolisian dan tokoh masyarakat di Poso saling menuding tentang siapa yang melakukan penyerangan lebih dulu.
Sehari setelah pembunuhan tiga siswa SMA Kristen Poso, November 2005, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto mengatakan, kekejian itu adalah ulah pihak luar yang ingin kembali mengadu domba warga Poso.
Beberapa hari setelah penembakan Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulteng Pendeta Irianto Kongkoli, Kepolisian Daerah Jawa Tengah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah warga daerah itu yang disinyalir kerap datang ke Poso tanpa alasan yang jelas.
Juni lalu, polisi membekuk Hasanudin, Haris, Irwanto, dan Jendra yang mengaku sebagai pelaku sejumlah penembakan, pembunuhan siswa SMA Kristen Poso, serta peledakan bom di Poso dan Palu. Dua dari mereka asal Jateng dan datang ke Poso untuk berdagang.
Saat menjadi Komandan Komando Keamanan Sulteng Inspektur Jenderal Paulus Purwoko mengatakan, ada sebuah kelompok kecil di Poso yang kerap melakukan aksi-aksi kekerasan dan memprovokasi warga agar kembali bertikai. Kelompok kecil itu terorganisasi, memiliki keahlian dalam melakukan berbagai aksi kekerasan bersenjata.
Paulus menambahkan, kelompok yang memiliki faham keliru berafiliasi dengan kelompok-kelompok radikal berbasiskan agama yang ada di dalam maupun luar negeri. “Beberapa anggota kelompok itu pernah dilatih di Afganistan," katanya.
Ustad Abdul Gani Israil, tokoh Islam di Poso yang populer dengan ceramah-ceramahnya yang menyejukkan, menyebutkan, “Masih ada kelompok-kelompok liar di Poso yang mudah melakukan tindakan anarkis. Mereka melakukan itu karena didoktrin dengan faham yang keliru," kata Gani.
Semua analisa aparat kepolisian di atas yang dipadu dengan kondisi riil masyarakat akar rumput di Poso memang dapat mengindikasikan adanya provokator dari luar Poso. Namun, siapa provokator itu, siapa di balik mereka, dan mengapa mereka masih menginginkan terjadinya konflik Poso harus diungkap agar tidak menjadi “bom waktu" bagi warga Poso.
Ketidakberhasilan aparat keamanan mengungkap siapa para provokator itu mengakibatkan saling curiga antarberbagai elemen masyarakat di Poso semakin meningkat. Mulai dari antarkomunitas, dari masyarakat kepada aparat keamanan, dari sebuah institusi keamanan terhadap institusi keamanan lain, bahkan dari aparat keamanan terhadap LSM. Warga Poso akhirnya kehilangan pegangan, tidak memiliki figur, baik pribadi maupun lembaga, yang dapat dipercaya sepenuhnya.
Tiadanya figur maupun lembaga yang dapat dipercaya serta upaya provokasi yang tidak pernah berhenti, dikhawatirkan dapat mengikis keteguhan warga Poso untuk tidak kembali menjadi korban provokasi.
Selain harus mengungkap siapa provokator tersebut, pemerintah juga perlu memulihkan ekonomi di Poso. Pascakonflik, perekonomian di Poso jalan di tempat sehingga jumlah penganggur meningkat tajam, termasuk yang berasal dari keluarga korban konflik Poso.
“Mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan masa depan yang jelas mudah diprovokasi dan diajak melakukan tindak kekerasan," kata Gani.
Persoalan di Poso memang begitu kompleks dan memerlukan perhatian besar dari semua pihak. Namun, bagaimanapun rumitnya persoalan itu, harapan warga Poso untuk hidup damai jangan sampai terkubur. Melindungi warga Poso dari ulah-ulah provokator adalah tugas kita semua. Karena itu, provokator di Poso harus dijadikan musuh bersama.

No comments: