Sunday, October 08, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Sekali Lagi, Hukuman Mati
RP Borrong

anggal 22 September dini hari, di daerah Palu, tiga nyawa melayang diterjang timah panas. Eksekusi terhadap tiga terdakwa kerusuhan Poso, akhirnya dilaksanakan juga, walaupun diprotes sebagian masyarakat yang merasakan ketidakadilan dalam proses pengadilan. Banyak pihak menghendaki agar pemeriksaan dan pengadilan terhadap tersangka lain dituntaskan dulu, baru eksekusi dilaksanakan.
Sikap pihak berwajib pasca- eksekusi yang mengabaikan atau tidak peduli pada permintaan terakhir para korban terkait dengan keyakinan iman mereka, yaitu didoakan di Gereja, sungguh tidak mencerminkan sikap orang-orang beragama. Demikian pula penolakan mengirim jenazah salah seorang korban ke tempat pemakaman yang dimintakan, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Orang yang sudah mati pun masih diabaikan hak-haknya!
Pihak berwajib melanggar tiga hal. Pertama, pelanggaran hukum yang mengatur kewajiban memenuhi permintaan terakhir mereka yang dihukum mati. Tindakan melanggar hukum seperti itu, apa pun alasannya mesti dihukum!
Kedua, mereka melanggar norma kehidupan beragama. Mereka tidak menghargai keyakinan orang meninggal! Mereka melecehkan keyakinan orang lain untuk hal-hal yang sepele.
Ketiga, mereka melanggar kewajiban untuk mendengarkan keluhan masyarakat. Mereka hanya memperhitungkan tugas dan keselamatan mereka sendiri, tanpa peduli pada rasa keadilan masyarakat.
Tolak Hukuman Mati!
Pelaksanaan hukuman mati di zaman modern, apalagi yang tidak dilaksanakan berdasarkan pertimbangan keadilan sejati dan yang proses pelaksanaannya tidak menghormati norma-norma, hak-hak dan keyakinan iman korban serta rasa keadilan masyarakat, harus ditolak.
Memang penolakan terhadap hukuman mati, bukan saja harus didasarkan pada pertimbangan rasional, moral, dan agama, tetapi juga pada nurani kita sebagai manusia yang beradab. Pertimbangan rasional bisa sangat subjektif, namun logika masyarakat kiranya tidak mendukung pelaksanaan hukuman mati yang didasarkan pada pengadilan serampangan, pertimbangan kebencian dan dendam kesumat, sangat bertentangan dengan akal sehat atau rasio. Maka pelaksanaan hukuman mati, baik keputusan maupun proses pelaksanaannya sangat tidak rasional.
Pertimbangan moral dan agama, sama sekali tidak dipedulikan dalam keputusan pidana mati. Karena itu mestinya hukuman mati ditolak. Bagi pertimbangan moral, manusia adalah makhluk mulia yang punya hati nurani. Walaupun cenderung berbuat jahat, namun mereka adalah manusia yang menjadi subjek moral, yang kehidupannya harus dihargai dan dihormati.
Pertimbangan aga- ma memandang setiap orang sebagai citra Allah yang karenanya menjadi makhluk berharkat dan bermartabat. Agama mengajarkan bahwa hidup manusia bersumber dari Tuhan maka hanya Tuhan yang berhak mengakhiri kehidupan. Siapa pun tidak berhak merendahkan harkat dan martabat seseorang atas dasar perbedaan apa pun, ras, agama, tingkat kehidupan sosial, termasuk perbedaan perilaku.
Selain itu, semua agama meyakini pentingnya aspek pertobatan, penyesalan dan ampunan. Kalau Tuhan yang adalah sumber kehidupan tidak sewenang-wenang terhadap kehidupan manusia dan makhluk lain, mengapa sesama manusia berlaku sewenang-wenang terhadap kehidupan sesamanya? Karena itu hukuman mati tidak perlu lagi.
Ada tiga sikap yang berbeda terhadap hukuman mati. Pertama, penganut paham rehabilitasi. Paham ini menolak sama sekali pelaksanaan hukuman mati, apa pun alasannya. Kalau keadilan dianggap sebagai alasan pelaksanaan hukuman mati, yaitu menghukum orang yang membunuh setimpal dengan kesalahan yang dilakukan. Hal itu bertentangan dengan tujuan keadilan: Bukan untuk menghukum tetapi untuk memperbarui. Karena itu, hukuman mati dipandang sebagai suatu tindakan tidak adil terhadap penjahat yang justru perlu diberi kesempatan untuk berubah, bertobat dan memperbaiki diri.
Kedua, penganut paham rekonstruksi yang berpendirian bahwa hukuman mati patut dilakukan bagi mereka yang melakukan kejahatan besar. Menurut mereka, keadilan bertujuan untuk membalaskan kesalahan yang dilakukan oleh seorang. Paham ini didasarkan pada lex talionis (hukum balas dendam) klasik yang terdapat hampir dalam semua budaya dan agama klasik yang dikenal dengan hukum: "gigi ganti gigi, mata ganti mata".
Pada umumnya pe-nganut paham rekonstruksi berpendirian bahwa masyarakat harus ditata ulang (direkonstruksi) atas dasar hukum agama. Maka paham ini biasa juga disebut sebagai paham teonomist karena mereka mengacu pada hukum Tuhan.
Ketiga, penganut paham retri-busi. Penganut paham ini berpendirian bahwa tujuan utama hukuman mati adalah menghukum pelaku kejahatan agar orang tersebut tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain men-jadi takut melakukan kejahatan yang sama. Penganut paham ini meyakini bahwa Tuhan mem-beri hak kepada pemerintah untuk melaksanakan keadilan dengan memberlakukan hukuman mati.
Karena setiap orang tidak berhak menentukan keadilan sendiri maka pelaksanaan keadilan dilakukan oleh pemerintah, maka pemerintah berhak memberlakukan keadilan dengan melaksanakan hukuman mati bagi penjahat kakap.
Dilihat dari sudut pandang moral, hukuman mati harus ditolak karena: Pertama, keadilan harus ditegakkan dengan tidak mengakhiri hidup seseorang. Pelaksanaan hukuman mati berarti mengakhiri hidup seseorang sehingga tidak ada kesempatan bagi penjahat untuk memperbaiki perilakunya.
Kedua, pelaksanaan hukuman mati bisa diartikan melindungi penjahat yang lain. Dalam kasus seperti yang baru terjadi di Palu, dengan mengakhiri hidup tiga terdakwa, maka pelaku kejahatan disebut- sebut menjadi dalang utama kerusuhan Poso, justru tidak dikenai hukuman. Maka pelaksanaan hukuman mati sama sekali tidak mencerminkan penegakan keadilan.
Ketiga, pelaksanaan hukuman mati sangat bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk bermoral. Pelaksanaan hukuman mati seperti tak berperasaan kemanusiaan. Keempat, hukuman mati melukai rasa keadilan masyarakat. Terhadap korban hukuman mati yang tidak sangat jelas kesalahannya, pelaksanaan hukuman mati bertentangan dengan moralitas masyarakat.
Kasus pelaksanaan hukuman mati di Palu baru-baru ini, dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan hukuman yang melukai rasa keadilan masyarakat. Buktinya, banyak pihak yang menolak dan memprotes pelaksanaan hukuman mati tersebut.
Bertentangan UUD
Pemberlakuan hukuman mati di Indonesia dapat dikategorikan kepada paham rekonstruksi dan retribusi. Walaupun tidak diatur dalam undang-undang khusus bahwa hukuman mati diberlakukan berdasarkan hukum agama, pengadilan sering dipengaruhi oleh lex talionis klasik dalam keputusannya. Kesalahan yang dilakukan terdakwa pembunuhan berencana adalah hukuman mati. Karena mereka membunuh maka mereka harus dibunuh.
Kalau Indonesia memberlakukan hukuman mati atas dasar hukum agama, baik langsung maupun tidak langsung, maka ada dua pertanyaan utama.
Pertama, hukum agama mana yang harus diberlakukan? Dalam suatu masyarakat pluralistik, hukum harus mengacu pada sumber hukum yang sama. Hukum agama tidak bisa menjadi acuan karena akan menimbulkan kerancuan dalam pemberlakuan dan pelaksanaannya di pengadilan terhadap warga masyarakat yang berbeda anutan agama dan keyakinannya.
Kedua, hukum agama justru sering mangabaikan paham mengenai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk moral dan makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk moral harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memperbaiki kehidupan, khususnya perilakunya. Agama mengajarkan pentingnya pertobatan dan pengampunan. Maka agama justru harus menolak pelaksanaan hukuman mati terhadap siapapun.
Undang-undang yang mengatur hak pemerintah, khususnya pengadilan memberlakukan hukuman mati mengacu pada paham retribusi. Apakah paham ini masih relevan dengan UUD 1945 hasil amendemen? Kalau dikaji, undang-undang yang mengatur pelaksanaan hukuman mati, bertentangan dengan UUD 1945 hasil amendemen karena sangat jelas disebutkan bahwa setiap orang berhak dilindungi kehidupannya.
Penulis adalah Ketua STT Jakarta
Last modified: 7/10/06

No comments: