SUARA PEMBARUAN DAILY
Poso, Upaya Menggoyang NKRI
Oleh Tjipta Lesmana
etiap kali terjadi kerusuhan di Poso, Presiden Yudhoyono memerintahkan petinggi keamanannya, terutama Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kapolri dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Mereka pun langsung terbang ke Palu, atau Poso. Lalu, rapat dengan pemerintah daerah.
Kerapkali sejumlah tokoh dari kedua komunitas yang bertikai juga hadir dan dimintai pendapatnya. Seusai pertemuan, keluarlah pernyataan bahwa yang klise sifatnya, seperti: (a) pemerintah minta masyarakat menahan diri; (b) pertikaian di Poso bukan perang agama; (c) pemerintah akan tindak tegas setiap perusuh. Setelah itu, para petinggi pusat kembali ke Jakarta, lapor ke Presiden. Persoalan pun kemudian dianggap selesai.
Kali ini, seorang pendeta bernama Irianto Kongkoli ditembak secara mengenaskan di depan istri dan anaknya sendiri. Presiden Yudhoyono memerintahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla terbang ke sana. SBY sendiri terbang ke China bersama rombongannya untuk membujuk para investor China masuk ke Indonesia.
Didampingi para petinggi di bidang keamanan dan intelijen, Jusuf Kalla bertatap muka dengan para pemuka agama Islam dan Kristen, serta pejabat daerah. Di permukaan, kalau para tokoh dipertemukan, semua mengatakan ingin damai dan damai.
Semua mengaku sudah muak dengan aksi-aksi teror. Semua saling berpelukan, seolah business as usual. Tapi, what next? Satu minggu atau satu bulan kemudian, bom meletus lagi. Korban tewas berjatuhan lagi.
Bertindak Tegas
Pemerintah, menurut hemat saya, gagal mengatasi konflik komunal di Poso dan Palu. Sebabnya, pemerintah tidak punya konsep yang jelas. Setiap kali ada aksi teror, aparat langsung mengirim tambahan pasukan (polisi); seakan-akan bom meledak karena Polda Sulawesi Tengah kekurangan personel. Toh, setelah dikirim pasukan tambahan, aksi-aksi teror masih terus berlangsung.
Anehnya lagi, kebencian sebagian masyarakat terhadap polisi semakin kuat. Beberapa hari yang lalu, sebuah helikopter yang ditumpangi Komandan Brigade Mobil (Brimob), bahkan, tidak berani mendarat di Poso karena masyarakat setempat sudah siap menyerbu.
Dalam suatu pertemuan yang dihadiri para petinggi keamanan dan intelijen pusat dengan aparat daerah Sulawesi Tengah, Kepala BIN Syamsir Siregar bertanya kepada Kapolda Sulawesi Tengah, apa sebab orang-orang yang dicurigai provokator belum juga ditangkap. Jawabannya: Polisi tidak berani karena takut diserang masyarakat.
BIN, juga BAIS (Badan Intelijen Strategis TNI), mungkin dua instansi yang paling gemas melihat situasi di Poso. Personel mereka yang beroperasi di sana dikabarkan tahu banyak. Siapa provokator dan siapa pelaku, mereka tahu. Namun, undang-undang melarang mereka untuk bertindak. Maksimal yang bisa mereka lakukan hanyalah meneruskan informasi kepada pihak kepolisian. Sayangnya, polisi tidak berani bertindak. Alasannya-lagi-lagi klise: Data intelijen tidak bisa dija-dikan dasar bagi Polri untuk ber- tindak.
Dulu, sewaktu menjabat Kapolri, Da'i Bachtiar paling sering mengeluarkan pernyataan ini, sehingga AM Hendropriyono (Kepala BIN ketika itu) sempat emosi dan mengeluarkan pernyataan: Kalau aparat (maksudnya: polisi) tidak berani bertindak tegas, ya, berhentilah jadi aparat! Semua masih ingat, Hendropriyono inilah yang pertama kali bicara secara terbuka bahwa instansinya telah menemukan sarang teroris di Poso. Itulah terjadi pada 2001.
Namun, ketika itu Kepala BIN dicaci-maki karena pernyataannya yang dinilai "provokatif".
Itulah salah satu fakta mengapa konflik di Poso tidak pernah berhenti, malah mengalami kemunduran, yaitu polisi-jujur saja-tidak berani bertindak tegas, karena takut jadi korban tindak pembalasan. Memang faktanya, beberapa kali personel kepolisian menjadi target serangan teror kelompok tertentu.
Tapi, itu adalah risiko pekerjaan. Kalau polisi sebagai aparat sudah "kecut", di lain pihak, TNI "diikat" kaki dan tangannya, konflik tak akan pernah selesai.
Kini ada 4.000 anggota polisi di Poso yang luasnya hanya sekitar sepersepuluh dari DKI Jakarta. Anggota TNI yang di-BKO-kan ke Polri Sulawesi Tengah berjumlah 400 orang. Bandingkan dengan Jakarta DKI yang begitu luas wilayahnya, total personel polisinya "hanya" 15.000.
Mereka harus menangani 1001 jenis kejahatan, termasuk kejahatan korupsi dan transnasional. Maka, siapa pun akan bertanya: Mengapa 4.000 polisi tidak mampu mengamankan Poso yang begitu kecil?
Pekan lalu Jusuf Kalla mengemukakan apa yang terjadi di Poso adalah aksi terorisme; bukan pertikaian antara agama, suku, dan etnis. Karena ini tindak terorisme, maka pemerintah akan menggunakan UU Anti-terorisme untuk mengatasinya.
Pertanyaan kita: Maaf, apa Kepolisian mampu melaksanakan UU Anti-Terorisme? Di seluruh dunia, perlawanan terhadap terorisme selalu melibatkan militer, khususnya intelijen militer.
Memang Kepolisian pun punya aparat intelijen, yaitu Badan Intelijen dan Keamanan (BIK). Tapi, semua pihak harus mengakui jujur intelijen polisi dan intelijen militer (TNI) amat beda fungsi dan pe- rannya.
Lagi pula, BIK baru dibentuk beberapa tahun. Maka, dalam memerangi terorisme, pihak Kepolisian tidak boleh bersikap "tinggi gengsi", yaitu merasa rendah martabatnya jika harus terus menerus meminta bantuan intelijen TNI.
Di pihak lain, pimpinan TNI, terutama Panglima TNI, juga harus bertindak tegas terhadap setiap anak-buahnya yang terindikasi "bermain" di Poso.
Jusuf Kalla benar ketika mengatakan masalah Poso adalah masalah bangsa Indonesia. Derita penduduk Poso adalah derita rakyat Indonesia juga.
Tidak Serius
Tapi, sekali lagi, kita melihat pemerintah tidak serius dan tidak punya konsep yang jelas untuk melibasnya. Kami mengusulkan beberapa langkah konkret.
Pertama, bereskan akar permasalahan, antara lain masalah korupsi (uang jaminan hidup) yang tidak kunjung selesai, pecat aparat pemda yang tidak becus, hentikan kecenderungan aparat yang pro kepada salah satu pihak dan atasi nasib para pengungsi, termasuk perumahan yang selama ini hanya diberikan janji dan janji oleh Bupati Poso.
Kedua, hentikan arus masuk kelompok-kelompok radikal dari luar Palu dan Poso. Aparat intelijen sebenarnya tahu siapa mereka itu. Tapi, lagi-lagi mereka tidak punya kewenangan untuk ambil action; sedang polisi hanya bisa bertindak kalau sudah ada bukti mereka melakukan tindak kejahatan.
Ketiga, polisi harus mobile, jangan hanya stationary. Artinya, operasi terus-menerus berpatroli di seluruh pelosok, jangan cuma nongkrong menjaga gedung atau instansi tertentu.
Keempat, pemerintah pusat harus keluarkan perintah "tembak di tempat" kepada polisi Polda Sulawesi Tengah. Siapa saja yang ketahuan melakukan aksi teror, langsung didor.
Kelima, berikan kewenangan tertentu kepada aparat intelijen militer untuk back-up polisi. Kita kini dihadapkan kepada dua pilihan: HAM atau melindungi rakyat yang tidak berdosa? Maka, usul agar semua personel Polri dan TNI secepatnya ditarik dari Poso patut dicermati.
Di mana logika penarikan Polri dan TNI, sedang benih-benih kebencian di antara dua komunitas memang sudah tertanam karena kejadian-kejadian mengerikan yang dialaminya selama enam tahun?
Pemerintah pusat jangan anggap enteng masalah Poso. Poso dijadikan killing field oleh pihak-pihak tertentu untuk menggoyang NKRI, setelah aksi serupa kurang berhasil di Ambon dan gagal total (prematur) di Medan.
Jika pembantaian terus berlangsung dan semakin banyak rakyat tidak berdosa yang tewas, perasaan dendam akan semakin dalam tertanam pada masyarakat.
Penulis adalah Dosen Universitas Pelita Harapan, anggota Kelompok Kerja Kewaspadaan Nasional LEMHANNAS
Last modified: 1/11/06
Wednesday, November 01, 2006
Posted @ 4:40 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment