Monday, October 02, 2006

Komentar, 02 October 2006
Dialog Bersama Wapres Soal Tibo Cs dan “Minahasa Merdeka"
Oleh: Jerry G. Tambun (Chicago, USA)

KAMIS, 28 September 2006 lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menggelar dialog bersama warga Indonesia di Amerika Serikat. Lokasi pertemuan dilangsungkan di Kantor Konjen RI, 211 West Wacker, Chicago. Saya saat itu datang terlambat 15 menit. Namun diizinkan masuk karena nama saya sudah didaftarkan sebagai peserta tatap muka. Peserta yang hadir sekitar 100 orang. Mereka datang dari kalangan mahasiswa, masyarakat Indonesia, dan staf konsulat. Sedangkan rombongan Wapres JK terlihat di antaranya Mari Pangestu dan para menteri lainnya. Juga hadir dalam tatap muka itu, Edward Wanandi beserta istri.Gedung 211 West Wacker Drive, adalah gedung mewah di wilayah bergengsi downtown. Ge-dung ini sudah dibeli Konjen RI seluruh lantai 8 dari 211 West Wacker Drive, Chicago. Gedung ini berhadapan dengan pencakar langit 90 tingkat milik Donald Trump dan hanya dipisahkan oleh sebuah sungai indah di pusat Kota Chicago. Saya masuk dalam ruangan yang dikelilingi kaca tembus pandang, sehingga kita dapat melihat gedung di sebelah dan orang yang berjalan di jalanan. Ketika saya masuk, wapres se-dang berbicara soal kebangga-an beliau tentang Indonesia yang merupakan negara demokrasi ketiga di dunia, kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, usaha pemberantasan korupsi yang sudah menunjukkan kemajuan, penegakan hukum dan keber-hasilan memberantas teroris.Saya tidak terlalu tertarik me-nyimak semua nostalgia dan ro-mantisme kekayaan dan keme-gahan Indonesia, karena hati dan pikiran saya tertuju, bagai-mana sebaiknya merumuskan problema masalah hukum, hak asasi, demokrasi, minoritas yang semuanya terpusat pada kasus Tibo cs. Kegundahan hati saya harus saya tekan sedapat mungkin, bersikap gentlemen, elegan, perpektif akademis yang jelas dan menunjukkan sikap respek kepada seorang wakil kepala negara yang selama ini membuat statemen dan ko-mentar yang saya nilai tidak konsisten. Perjuangan menentang eksekusi Tibo cs di mana saya bersama-sama teman COURTS, Gerdi Worang, Nora Mayo, Wis-ke Rotinsulu meskipun hanya 8 bulan namun oleh karena per-juangan tersebut kami yakini sebagai sebuah kebenaran, ma-ka seluruh kekuatan, pikiran, energi tertuju ke sana. Keper-giaan Tibo cs bagaikan sebuah ‘’Kekalahan yang tak dapat diterima’’. Saya kini di hadapan seorang wakil kepala negara, yang per-nah menolak bantuan AS ter-masuk pasukan AS yang turun ke darat membantu membenahi kerusakan tsunami. Berdiri ha-nya kurang lebih 4,5 meter, di hadapan seorang wapres berla-tar belakang pengusaha. Dan juga bertatapan muka langsung, sesekali kontak mata, oleh karena berada dalam jangkauan pandangannya yang relatif sa-ngat dekat. Bertatap muka de-ngan seorang pejabat negara yang menolak tegas permohon-an grasi dan mendesak dilak-sanakan hukuman mati oleh ka-rena hukum harus ditegakkan.Haji Moh Jusuf Kalla, seorang wapres dan termasuk orang penting dalam penyelesaian kasus Maluku dan Poso. Kepa-danya; suara hati kecil saya berkata “menuntut pertang-gungjawaban?” Namun naluri akademis saya tetap meng-ingatkan saya untuk selalu ber-pikir analogis, kristis dan pro-porsional. Jika tidak saya akan dipermalukan oleh apa yang saya ucapkan atau paling tidak orang akan mengukur keda-laman ilmiah saya dengan apa yang saya katakan.Well dari mana saya harus membuka? Sebersit ide mun-cul di benak saya. Hmm, saya akan memulai dengan meng-utarakan hal-hal yang “memiliki kesamaan dari uraian-uraian yang disampaikan wapres”. Kemudian akan saya sam-paikan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut hukum, demokrasi, hak asasi dan NKRI, selebihnya saya biarkan otak saya mengolahnya sambil saya berbicara. So, pernyataan perdana saya sangat menentukan apakah peserta yang hadir akan mem-berikan perhatian mereka. Saat itu hanya terdapat 4 penanya. Saya memperoleh kesempatan bertanya yang ketiga. Penanya pertama, satu pertanyaan, dengan jawaban yang samar-samar juga dari wapres. Pena-nya kedua mempersoalkan jum-lah tembakan di tubuh Tibo cs. Dan penanya keempat saya ti-dak dapat mengerti apa yang disampaikannya meskipun saya hanya 6 meter dari si penanya.Moderator saat itu adalah Bapak Hidayat, Konjen Chicago, di sebelah kirinya Dubes RI untuk AS, dan menteri-menteri. Sedangkan di sebelah kanan duduk Wapres beserta Istri dan Menteri Mari Pangestu.Saya memulai dengan mem-perkenalkan diri, nama, tempat dan fakultas di mana saya pernah mengajar selama 15 tahun (UKSW). Saya kemudian menyampai-kan poin-poin, di mana wapres dan saya dapat ‘’bersetuju’’, yaitu soal Poso adalah muara dari kepentingan elit politik. Beliau menekankan elit politik di Palu. Saya menekankan pada elit politik di Jakarta. Poin lain yang saya setujui dari komentar Wapres adalah, bahwa penem-bakan Tibo sudah prosedural, oleh karena malam sebelumnya saya membaca komentar Uskup Suwatan tentang hal tersebut. Sambil menyinggung soal visum dokter yang saya peroleh dari Lisa Tungka, seraya berka-ta bahwa soal itu sudah jelas dan tidak dipersoalkan lagi. Sepintas saya melihat Wapres terlihat “mengiyakan” dan ten-tunya beliau ingin terus mende-ngar apa yang akan saya kata-kan. Hmm pikirku, saya telah berhasil menarik perhatiannya (wapres). Wapres sekarang ma-suk alur berpikir saya. Ini saat yang saya nantikan untuk memberikan sedikit ‘percikan-percikan’.Pertanyaan pertama saya: Ba-pak adalah seorang wakil presi-den yang selalu memberikan pernyataan yang tidak konsis-ten dan logik. Contoh: “Pengu-saha Asing: Demokrasi Nomor Dua” (bahan disuplai dari Lisa Tungka). Bukankah pengusa-ha asing mensyaratkan demo-krasi sebagai indikator stabilitas keamanan dan politik dalam negeri. Bagaimana bisa demo-krasi bertentangan dengan keamanan investasi. Beliau menjawab: Konteks yang saya maksudkan adalah kalau selalu ada protes-protes keamanan sekuritas/investasi tidak terjamin.Pertanyaan kedua: Bapak salah seorang yang menyatakan “go ahead”: dengan eksekusi Tibo cs, dengan alasan hukum harus ditegakkan. Adalah sa-ngat naif jika Bapak tidak me-nyadari bahwa sistem hukum kita sering terjadi kesalahan prosedural atau cacat prosedur atau cacat hukum. Bagaimana Bapak bisa membiarkan semua ini terjadi?Dan Bapak juga tahu Tibo cs adalah orang yang berada pada tempat dan waktu yang salah, proses pengadilan mereka di bawah ancaman dan juga ba-nyak kesaksian yang sebe-narnya tidak dimasukkan da-lam proses beracara di PN. Jika Bapak maksudkan dengan ek-sekusi Tibo cs untuk menegak-kan hukum: maka penegakan hukum yang bapak maksudkan adalah penegakan hukum prosedural/formalitas dan bukan substansi. Mengenai hal ini saya bersama teman-teman telah menulisnya sebagai Miscariage of Justice: Peradilan Sesat di website in-donesianwatch.org. Beliau ke-mudian menjawab: ‘’Anda juga tahu cacat hukum yang pernah terjadi di AS, mengenai OJ Simpson.’’ Mungkin maksud beliau asalkan saja sudah terbukti maka soal substansi tidak perlu dipersoalkan. Beliau lupa pada kasus OJ Simpson itu soal pembuktian, sedangkan pada kasus Tibo cs, soal pro-sedur hukum yang sudah di-selewengkan sejak semula. Penyidikan yang merekayasa keterlibatan mereka dan pemutarbalikan fakta berupa kesaksian palsu.Pertanyaan Ketiga: Bagaimana kebijakan pemerintah pusat menghadapi “image” bahwa se-kelompok masyarakat meng-alami diskriminasi. Ketidak- adilan dan perlakuan yang tidak adil. Dan pemerintah bersikap diam, berpura-pura tidak tahu. Dapatkah NKRI bisa diperta-hankan? Apabila situasi ini dibiarkan maka, gerakan-ge-rakan/embrio tuntutan pemisa-han diri akan subur di tanah air. Tiga hari lalu di Manado telah dicanangkan ‘’Minahasa Mer-deka’’, yang dipimpin oleh: —saya agak lambat menyebut namanya-tapi kemudian beliau menyela ‘’Dolfi Maringka’’—Iya, saya pun membenarkan. Mohon tanggapan Bapak, tanya saya. Jika eksekusi Tibo cs akan membawa perdamaian bagi bangsa maka kepergian mereka merupakan sumbangsih yang tak ternilai bagi NKRI. Namun jika hal yang sama masih terjadi juga, berarti pemerintah gagal melaksanakan fungsi pemersatu dan juga gagal secara moral. Keempat: (sebenarnya perta-nyaan ini bagian dari komentar saya di pertanyaan kedua). Be-berapa laporan yang saya baca, baik dari George A Tjondro maupun Sangadji, menyatakan bahwa konflik horizontal Poso, adalah konflik yang diciptakan oleh militer dengan melibatkan milisi di kedua belah pihak. Dengan maksud memperoleh pembenaran kehadiran militer di sana maupun menjadi se-bagai penyelamat di masya-rakat. Bapak mengatakan adalah permainan elit politik lokal antara tokoh politik Kristen dan Islam? Bukankah itu me-ngada-ada. Siapa yang mempu-nyai senjata. Apakah elit politik lokal mempunyai senjata: Se-kian dan terima kasih. Hadirin bertepuk tangan panjang.Beliau menjawab: Anda tahu di Poso itu semua orang turun “berperang”, Islam dan Kristen. Dan itu banyak. Tapi kita kan harus mencari “orang yang paling bersalah.” Tibo itu membunuh 75 orang, tukas wapres. Beliau tidak menjawab hal-hal lain. Setelah itu tidak dibuka lagi sesi tanya-jawab sesudah penanya keempat. Hadirin diajak untuk membuat foto bersama. Saya tidak ber-usaha mencari kesempatan itu, menghindar lalu menuju ke belakang ruangan. Di sela-sela kursi yang saya harus lewati, berdiri satu meter di hadapan saya Ibu Wapres. Beliau menga-takan “Asal Manado ya” saya mengiyakan dan secara sopan menyalami beliau dan pergi me-nemui teman-teman yang bera-da di bagian belakang dan sam-ping ruang pertemuan.(Penulis adalah pemerhati masalah hukum dan kemanu-siaan yang sekarang bermuk-im di Amerika Serikat).

No comments: