[poso-center] Pernyataan Pers bersama
PERNYATAAN PERS BERSAMATENTANG KEKERASAN POSO DAN UPAYA PENYELESAIANNYA
Sudah memasuki delapan tahun kekerasan di Poso terjadi. Peristiwa yang berawal pada tanggal 28 Desember 1998, menjadi salah satu catatan sejarah kemanusiaan paling buruk di Sulawesi Tengah, bahkan di Indonesia. Lebih dari 1.000 orang meninggal dunia dan lainnya luka-luka, sekitar 30.000 mengalami gangguan jiwa (berat dan ringan), sekitar 17.000 rumah dan bangunan umum terbakar, dan sekitar 98.000 jiwa (pernah) menjadi pengungsi. Kekerasan Poso tidak boleh dianggap sebagai manifestasi dari konflik antar agama dan suku. Karena, secara historis, di wilayah ini tidak pernah terjadi kekerasan yang melibatkan komunitas-komunitas berbeda agama dan suku di sana karena perbedaan-perbedaan di antara mereka. Juga, secara kultural dan sosiologis, dalam kurun waktu yang panjang, komunitas-komunitas berbeda agama dan suku di sana dapat hidup berdampingan secara kekeluargaan, saling menghargai, dan toleran. Yang terjadi di Poso adalah penunggangan, eksploitasi dan manipulasi sentimen agama dan suku untuk melakukan kekerasan. Atas nama kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi, segelintir orang dan faksi-faksi tertentu di dalam tubuh negara/pemerintah telah memanfaatkan kerapuhan ekonomi dan transisi politik di Indonesia untuk menjadikan Poso sebagai ajang kekerasan, dengan menggunakan agama dan suku sebagai kayu bakar. Sejak Desember 1998, kekerasan Poso terjadi dan meluas, karena kegagalan negara/pemerintah. Pertama, ditandai dengan pembiaran terhadap kekerasan, di mana otoritas keamanan tidak bekerja untuk melakukan tindakan preventif dan represif secara sah dan profesional untuk menyudahi kekerasan. Tingkatannya, secara umum mulai dari pembiaran kontak fisik terbuka antara dua kelompok masyarakat, pengerahan pasukan yang terlambat ke lokasi kekerasan, dan tidak adanya kesungguhan memotong mata rantai peredaran senjata api dan amunisi dari sumber hulunya. Kedua, keterlibatan aparat keamanan secara langsung dan tidak langsung dalam serangkaian kekerasan di Poso. Penculikan dan pembunuhan Delapan warga Desa Toyado, 3 Desember 2001 dan penembakan 2 remaja (Ivon dn Yuli) pada 8 November 2005 merupakan contoh paling telanjang mata bagaimana aparat keamanan merupakan bagian dari kekerasan. Keterlibatan secara tidak langsung, misalnya ditandai dengan transfer senjata api dan amunisi kepada warga sipil secara ilegal. Ketiga, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan aparat keamanan mengungkap serangkaian kekerasan misterius, terutama yang terjadi setelah Deklarasi Malino, Desember 2001 sampai dengan saat ini. Padahal, berbagai kekerasan itu nyaris memiliki pola yang sama, dilihat dari modus dan momentumnya. Dalam beberapa kasus, kekerasan misterius itu dilakukan oleh orang-orang yang sangat terlatih, misalnya, kemampuan menembak pada sasaran tertentu secara tepat. Di sepanjang tahun 2006 ini saja, terhitung 32 kali kejadian upaya provokasi dan kekerasan di Poso. Mulai dari rentetan tembakan dan ledakan bom, (lihat Lampiran). Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam pengungkapan kekerasan misterius kerap menimbulkan masalah. Misalnya, kerap terjadi kesalahan dalam penangkapan pelaku dan penyiksaan terhadapnya. Di sisi lain, sejumlah kesaksian menganggap bahwa kemungkinan pelaku kekerasan adalah aparat keamanan sendiri. Ironisnya, di tengah keterpurukan masyarakat Poso, maka kekerasan di sana sebenarnya menguntungkan institusi dan aktor-aktor tertentu di dalam tubuh negara/pemerintah. Pertama, menguntungkan aparat keamanan di tengah tumbuhnya industri pengamanan. Kekerasan Poso, sejak Desember 1998, telah meningkatkan kehadiran aparat keamanan. Merujuk pada pengerahan pasukan untuk operasi pemulihan keamanan. Kekerasan telah diikuti pengerahan pasukan dalam jumlah besar, baik organik maupun non-organik Polri dan TNI AD di wilayah Sulawesi Tengah. Jumlah tertinggi pernah mencapai 5.000 personil dan terendah sekitar 1.500. Pengerahan pasukan memakai sandi operasi tertentu, seperti Operasi Sadar Maleo, Operasi Cinta Damai, Operasi Sintuwu Maroso I - VII. dan terakhir Operasi Lanto Dago Saat ini, pasca eksekusi terhadap Tibo cs, kembali mobilisasi besar-besaran pasukan ke Poso. sekitar 5000-an aparat keamanan (TNI/POLRI) telah menyebar di berbagai daerah di Poso. Untuk satuan kepolisian saja, sekitar 2000-an personil organik berada di sana, di bawah sandi operasi Lanto Dago. Ini diluar pasukan BKO (Bawa Kendali Operasi) Brimob yang dimobilisasi menjelang eksekusi Tibo CS, dan pasca kejadian Bom dan kosentrasi massa di Kelurahann Sayo, 30 September 2006 lalu. Terhitung, saat ini ada 10 Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau sekitar 1200-an Brimob, dari berbagai daerah berada di Poso. Ke 10 SSK tersebut berasal dari berbagai daerah, yaitu ; 3 SSK dari Brimob Kelapa dua Jakarta, 2 SSK Brimob Sulawesi Selatan, 2 SSK Bribob Kalimantan Timur, 2 SSK Brimob Sulawesi Utara dan 1 SSK Bribob Sulawesi Tengah. Sebaliknya, dari TNI AD terdapat 1.362 personel. Rinciannya, personel dari Kodim 1307 Poso sebanyak 208 orang, dari Yonif 714/Sintuwu Maroso 578 orang, Kompi senapan B Yonif 711/Raksatama 106 orang, Batalyon Kavaleri 10/Serbu Kodam VII/Wirabuana 400 orang, dan dari Tim Sandi Yudha Kopassus 12 orang. Hal ini di luar rencana akan mendatangkan 2 batalyon BKO lagi ke Poso. Selain itu, operasi-operasi intelijen juga telah melibatkan berbagai kesatuan. Seperti intelijen tempur Kopassus dari Sandhi Yudha dan intelijen negara dari Badan Intelijen Negara (BIN). Seperti telah kita lihat sendiri, kehadiran aparat keamanan itu sama sekali tidak bisa meredakan kekerasan di Poso. Kekerasan terus saja terjadi, baik dalam bentuk serangan-serangan terbuka, maupun serangan-serangan misterius. Dalam bulan September 2006 misalnya, terjadi sejumlah kekerasan beruntun. Diawali dengan meledaknya bom yang menyebabkan korban jiwa di Tangkura 7 September 2006 dan Kawua 9 September 2006. Pasca eksekusi Tibo cs, kekerasan makin meningkat dan bahkan telah mengarah pada benturan antara masyarakat dengan aparat keamanan dalam hal ini aparat kepolisian. Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan hal di atas, antara lain : pengusiran satuan Brimob di Polsek Pamona Utara, Pelemparan Kapolsek Lage (22/9/06), Serangan terhadap Polsek Pamona Timur disertai pembakaran kendaraan bermotor milik polisi (30/9/06), pengejaran terhadap polisi di Kawua dan Kayamanya pasca ledakan bom tanggal 30 September 2006 dan pembakaran pos portal Masyarakat di Kelurahan Gebang Rejo. Yang terakhir ketegangan massa di Sayo-Poso Kota yang nyaris menimbulkan konflik terbuka. Bila situasi seperti ini terus terjadi, maka kecenderungan ke arah konflik terbuka semakin besar. Bila hal itu terjadi tidak menutup kemungkinan perubahan status keamanan di Poso menjadi Darurat. Baik darurat Sipil maupun Darurat Militer. Status semacam ini sesungguhnya oleh seluruh masyarakat Poso ditolak mentah-mentah (Salah satu Butir Deklarasi Malino 2001). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut :
Pengungkapan kasus kekerasan Poso secara fair tidak cukup dilakukan oleh aparat keamanan. Oleh karena itu, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) adalah salah satu keharusan, guna mengungkap fakta-fakta kekerasan secara obyektif. TGPF harus diberikan kewenangan yang luas untuk menginvestigasi kasus-kasus kekerasan yang menonjol dan memberikan rekomendasi yang mengikat kepada pemerintah/aparat keamanan untuk menindak lanjuti hasil-hasil temuannya. Sebuah Keputusan Presiden diperlukan untuk memberikan payung hukum kepada TGPF. Tanpa TGPF, penyelesaian kasus kekerasan Poso hanya berlangsung secara parsial, karena terus-menerus memelihara kepalsuan kepercayaan publik bahwa kekerasan di sana murni bersifat komunal
Melaksanakan secara serius penegakan supremasi hukum dan penegakan Hak Azasi Manusia.
Kekerasan Poso adalah wujud dari kegagalan negara/pemerintah. Oleh karena itu, negara/pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi di sana. Tanggung jawab itu harus dipikul oleh pejabat aparat negara/pemerintah, baik sipil maupun aparat keamanan, sesuai lingkup kewenangannya ketika terjadi kekerasan.
Menolak semua skema untuk menjadikan keadaan darurat di Poso. Dengan demikian menolak pemberlakuan Poso sebagai daerah operasi militer, dengan tetap mempertahankan Poso di bawah status tertib sipil.
Mendesak kepada pemerintah untuk membentuk satu badan/otorita khusus yang berkerja untuk memulihkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Poso.
Mengutuk upaya-upaya kriminalisasi terhadap warga sipil oleh aparat keamanan. Seperti upaya sistematis yang dilakukan oleh pangdam VII Wirabuana, yang menuding LSM dan Iskandar Lamuka berada di balik kerusuhan Poso beberapa waktu lalu.
Jakarta, 11 Oktober 2006
Rahlan Nasidiq Usman Hamid Patra. M Zen
Direktur Imparsial Koordinator KontraS Direktur YLBHI
Mahfud Masuara Nurmawati Bantilan I Sandyawan Sumardi
Sekretaris Poso Center Anggota DPD RI Jaringan Relawan Kemanusiaan
Yusuf Lakaseng Syamsudin pay Muh. Ridha Saleh
DPP PBR Ketua DPW PKB Sulteng Deputy Walhi
Thursday, October 12, 2006
Posted
@
4:37 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment