Sunday, October 01, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
"Das Sein" dan "Das Sollen" Refleksi tentang Sebuah Eksekusi
K Bertens

ebenarnya cukup mengherankan bahwa ungkapan Jerman das Sein dan das Sollen banyak dipakai di Indonesia. Terutama generasi tua kerap kali suka menggunakan ungkapan ini. Dan perlu diakui, pemakaiannya selalu tepat dan sesuai dengan artinya.
Muncul pertanyaan, dari mana asalnya "benda asing" ini? Bagaimana bisa terjadi kata-kata Jerman ini "kesasar" dalam konversasi antara penutur bahasa Indonesia? Hipotesis pribadi saya adalah bahwa hal itu berasal dari pidato-pidato Presiden Sukarno.
Presiden pertama kita mengerti beberapa bahasa dan ia senang membaca. Selaku orator yang pandai. Ia memanfaatkan hasil bacaannya dalam pidato-pidatonya. Kemungkinan besar ia juga memakai ungkapan Jerman tersebut dan masyarakat merasa terkesan, sehingga sampai membekas dalam konversasi umum.
Apakah artinya ungkapan Jerman ini? Das Sein berarti "kenyataan", "keadaan factual". Das Sollen berarti "norma moral" atau "yang seharusnya dilakukan". Pasangan kata Jerman ini sering dipakai dalam konteks bahwa das Sein bertolak belakang dengan das Sollen. Sudah jelas apa yang harus dilakukan, tetapi dalam kenyataan tidak dilakukan juga. Sebuah kesenjangan menganga antara das Sein dan das Sollen.
Supremasi Hukum?
Menjelang eksekusi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, ketiga terpidana mati dalam kasus Poso, ungkapan Jerman tadi sering timbul lagi dalam ingatan saya. Pemerintah berulang kali menekankan bahwa proses hukum sudah berjalan sampai titik terakhirnya. Semua upaya hukum yang tersedia sudah dijalankan. Sekarang proses hukum itu sudah final dan masyarakat tinggal menerimanya saja. Supremasi hukum telah terwujud. Eksekusi terpidana mati merupakan konsekuensi dari hidup di negara hukum.
Memang benar, argumentasi ini tepat sekali dan amat bagus. Hanya saja, ada kekurangan fatal bahwa semuanya itu berlaku sebatas das Sollen saja. Karena sistem hukum menurut kodratnya mewujudkan keadilan, memang seharusnya hasil proses hukum dapat diterima oleh semua pihak. Apapun yang akan terjadi, penegakan keadilan harus dilaksanakan. Dari hukum Kekaisaran Roma, kita telah mewarisi prinsip dasar fiat justitia, ruat coelum, "hendaklah keadilan ditegakkan, meski langit runtuh". Proses hukum sebagai penegakan keadilan adalah sesuatu yang mutlak. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Seharusnya memang begitu. Namun demikian, kenyataannya bagaimana? Bagaimana das Sein?
Masyarakat umum yang tergantung pada informasi media massa saja, tentu tidak tahu bagaimana harus menilai kontroversi tentang salah tidaknya ketiga terpidana mati ini. Tetapi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah dan sekitarnya sangat aktif dalam mencari kebenaran. Mereka yang mengerti segala seluk-beluk kasus ini, yakin betul bahwa Tibo dan kedua temannya tidak bersalah.
Orang-orang malang ini dijadikan kambing hitam melalui sederetan langkah hukum yang kompleks dan sarat intrik. Mereka hanya petani kecil, buta huruf, pendatang yang tidak langsung terlibat dalam komunitas-komunitas yang bertikai dalam konflik Poso III tahun 2000. Misalnya, para rohaniawan yang mendampingi ketiga terpidana mati itu yakin seratus persen bahwa tangan Tibo dkk tidak pernah berdarah. Jadi, yang disebut proses hukum itu diliputi ketidakadilan luar biasa besar.
Diskusi menjelang eksekusi sering didominasi oleh argumentasi melawan hukum mati pada umumnya. Namun, dengan itu inti masalahnya menjadi kurang terfokus. Memang benar, perdebatan tentang layaknya tidaknya dipertahankan hukuman mati di zaman modern ini harus dilanjutkan. Tetapi masalah tentang Tibo dkk adalah lebih fundamental lagi; apakah seluruh proses pengadilan berjalan dengan adil atau tidak? Proses pengadilan tidak adil apapun (bukan saja yang berakhir dengan hukuman mati)? merupakan suatu ketidakberesan moral yang besar dan menjatuhkan martabat hukum dengan cara fatal.
Dicopot Oleh Tuhan
Di antara para pejabat negara, hanya Kepala Polda Sulteng, Brigjen Pol Oegroseno berani menyatakan dengan jelas bahwa "kasus Tibo dkk, ada banyak kejanggalan, mulai dari proses penangkapan, pemeriksaan, dan pengadilan". Ia berpendapat bahwa eksekusi tidak boleh dilakukan dan menganjurkan agar proses hukum Tibo dkk dibuka kembali. Sebelumnya ia sudah berulang kali menekankan bahwa kasus kerusuhan Poso diliputi banyak misteri dan ia melihat sebagai tugasnya bekerja keras untuk mengungkap misteri-misteri ini.
Namun, justru Kapolda yang baru 11 bulan bertugas di Sulteng itu dipindahkan ke Jakarta. Oleh pihak Polri langsung dibantah bahwa pergantian ini berkaitan dengan kasus Tibo dkk. Dan kita dapat mengerti bahwa Oegroseno sendiri tidak ada pilihan lain daripada mengatakan hal yang sama kepada wartawan (Suara Pembaruan, 1/9).
Tetapi, siapa akan percaya omongan kamuflase itu sudah kita kenal sejak Orde Baru. Kecurigaan menjadi lebih besar lagi, bila kita lihat Kapolda baru begitu kooperatif dalam mempersiapkan eksekusi. Karena itu pergantian Oegroseno ini hanya menambah misteri baru pada begitu banyak misteri yang sudah ada di sekitar kasus-kasus kerusuhan Poso.
Ketika sudah diganti sebagai Kapolda Sulteng, Oegroseno masih sempat ikut dalam dialog yang diadakan di Hotel Palu Golden pada 2 September 2006. Di situ ia mengulangi lagi pandangannya mengenai ketidakberesan proses hukum yang dialami oleh Tibo dkk. Menurut orang yang hadir, pada kesempatan itu ia mengatakan juga "saya lebih senang dicopot oleh Kapolri daripada dicopot oleh Tuhan". Kalau begitu, rupanya pada Oegroseno ini das Sein masih seiring dengan das Sollen. Ia tidak bersedia mengorbankan tuntutan keadilan dan hati nurani kepada kepentingan lain apapun.
Dalam era reformasi, salah satu agenda pembaruan yang dianggap amat penting adalah menyehatkan sistem hukum kita. Dalam keadaan sekarang, pelaksanaan hukum tidak mempunyai kredibilitas sama sekali dan hal itu menciptakan suatu situasi yang sangat serius, pada taraf nasional maupun dalam forum internasional. Seandainya pemerintah giat mencari jalan untuk membuka kembali proses pengadilan Tibo dkk, tidak perlu dikhawatirkan citra hukum akan tercoreng lagi.
Keadaan hukum kita hampir tidak bisa lebih buruk lagi. Sebaliknya, seandainya pemerintah bersedia membuka pintu untuk meninjau kembali proses pengadilan ini, dunia akan mengakui bahwa akhirnya pemerintah serius dalam menyehatkan sistem hukum.
Kerap kali sudah diajukan usul, seperti membentuk Tim Pencari Fakta atau Komisi Independen yang akan mengusut seluruh kasus kerusuhan Poso sampai ke akar-akarnya. Dalam Tim atau Komisi macam itu sebaiknya ditambah juga unsur luar negeri.
Di Finlandia, Norwegia atau negara lain yang sudah berjasa dalam upaya serupa itu pasti ada hakim terpandang yang sudah pensiunan dan bersedia untuk membantu kita. Dengan itu kita tidak mengobrol independensi kita, tapi justru membuka diri secara tulus untuk memulihkan sistem hukum dengan meyakinkan. Yang sampai sekarang disebut "mempertahankan supremasi hukum" hanya mengakibatkan kepercayaan pada hukum di Indonesia terpuruk lebih dalam lagi sampai titik nadirnya. Pemerintah SBY-JK tidak bisa cuci tangan, seolah- olah tidak bertanggungjawab.
Penulis adalah anggota staf Pusat Pengembangan Etika Universitas Atmajaya
Last modified: 30/9/06

No comments: