Wednesday, October 18, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pemerintah Tidak Mampu Ciptakan Keamanan di Poso

[JAKARTA] Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt Dr Andreas Yewangoe menilai pemerintah sangat terkesan tidak mampu menciptakan rasa keamanan dan ketertiban umum di Poso. Teror dan sejumlah aksi kekerasan disertai pelanggaran hak asasi manusia senantiasa terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini di Sulawesi Tengah.
"Merupakan tugas negara memberikan rasa aman dan jaminan keselamatan terhadap warga negaranya. Kami sangat menyesalkan peristiwa seperti ini terus terulang. Sebagai lembaga moral kami hanya dapat menghimbau agar masyarakat Poso tetap tenang dan tidak terpancing untuk provokasi dibalik penembakan itu," ujar AA Yewangoe kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (17/10).
Dikatakan, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH PGI) menyatakan keprihatinan atas peristiwa penembakan terhadap Pdt Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Palu.
Karena itu, ujarnya, pihaknya mendesak pemerintah menyelesaikan persoalan Poso secara mendasar dalam upaya pengamanan di Palu, Poso, Tentena dan sekitarnya yang masih rawan kekerasan, serta menangkap pelaku penembakan dan mengusut tuntas peristiwa tersebut.
Namun, ujarnya, PGI juga menyerukan kepada keluarga korban dan GKST agar tidak terprovokasi dengan kejadian ini serta kepada para pemimpin dan umat beragama tidak terjerumus dalam upaya adu domba umat beragama.
Pihaknya juga mendoakan keluarga yang ditinggalkan agar dikaruniakan kekuatan dan agar Tuhan mengaruniakan perdamaian di Palu, Poso, Tentena dan sekitarnya sehingga masyarakat dapat hidup aman dan tenteram.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Sekretaris Umum PGI, Pdt Dr Richard Daulay disebutkan PGI mendesak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan Poso secara mendasar dan memberikan perhatian yang serius terhadap upaya pengamanan di Palu, Poso, Tentena dan sekitarnya yang hingga kini masih rawan kekerasan, penyerangan, penembakan dan pembunuhan.
"Kami juga menyerukan kepada gereja-gereja dan umat Kristiani untuk mengadakan ibadah-ibadah khusus atas meninggalnya Pdt Irianto Kongkoli. Dan mendesak aparat keamanan untuk menangkap pelaku penembakan dan mengusut tuntas peristiwa ini. Kapolri sudah mengatakan telah mengidentifikasi pelakunya, kami harap segera tangkap dan umumkan kepada masyarakat," ujarnya.
Tim Pencari Fakta
Sejumlah aktivis LSM meminta pemerintah segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kasus kekerasan yang terjadi di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah. Kalau pemerintah tidak segera membentuk TGPF, maka kekerasan di Poso dan Palu terus terjadi.
Para aktivis itu ialah Indria Fernida dan Edwin Partogi da- ri Kontras, Raffendi Djamin dari Human Rights Working Group (HRWG), A Patra M Zein dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dikatakan TGPF yang dibentuk itu harus melibatkan sejumlah pihak dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan masyarakat. Para aktivis itu menyerukan seperti itu, terkait bom terus meledak di Poso akhir-akhir ini, dan yang paling baru adalah tewasnya Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), Pendeta Irianto Kongkoli, Senin (16/10).
Indria mengatakan, kekerasan dan pengeboman terus meledak di Poso dan Palu. Padahal, aparat keamanan sudah banyak dikerahkan ke sana. Dalam seminggu terakhir, setidaknya tiga kali terjadi ledakan bom di Poso. TGPF, kata dia, bertugas untuk menyelidiki kasus-kasus pengeboman dan kekerasan yang mendapat perhatian masyarakat luas dan menjadikan basil penyelidikannya untuk dapat ditindaklanjuti secara projusticia, sekaligus dapat mendorong rekonsiliasi antar warga yang lebih substantif. Dikatakan, kematian Pendeta Irianto menambah daftar panjang korban penembakan misterius di Poso dan Palu.
Sepanjang tahun 2006, telah terjadi 57 peristiwa kekerasan di Poso dan Palu, dimana kasus menonjol di antaranya adalah pemboman dan penembakan (4 kali) penembakan misterius.
Berdasarkan pemantauan Kontras, lanjut Indria, penembakan dengan korban yang sudah ditarget (target shooting) ini bukan pertama kali terjadi di Palu dan Poso. Pada 16 Nopember 2003 Bendahara Sinode GKST, Orange Tadjoja yang di- temukan tewas di Poso Pesisir dengan luka tembak dan pukulan benda keras di bagian kepala.
Pada 18 Juli 2004, seorang pendeta perempuan GKST, yakni Pendeta Susianti Tinulele juga ditembak saat berkhotbah di depan jemaatnya di gereja Effata Palu, serta serangkaian peristiwa lainnya yang telah mengakibatkan meninggalnya warga sipil di Poso dan Palu. Raffendi mengatakan, mereka memandang, pola umum kekerasan di Poso dan Palu kerap dilakukan dengan memanfaatkan momentum perayaan keagamaan untuk memprovokasi kembali masyarakat.
Kekerasan kerap kali terjadi menjelang dan saat berlangsungnya perayaan Idul Fitri dan perayaan Natal. "Hal ini merupakan bukti gagalnya negara dalam menjamin dan melindungi warganya dalam menjalankan ibadah," kata dia. [E-5/E-8]
Last modified: 18/10/06

No comments: