Sunday, October 01, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Diusulkan, Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Tibo

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis (tengah) bersama anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (kanan), dan Ketua Fraksi Partai Damai Sejahtera Constan Ponggawa, memberikan penjelasan kepada wartawan di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Jumat (29/9) mengenai pernyataan sikap lintas fraksi atas tereksekusinya Tibo Cs (Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Da Silva). [Pembaruan/Charles Ulag]
[JAKARTA] Menindaklanjuti dipaksakannya eksekusi mati terhadap Tibo cs, ditambah dengan ditemukannya penyimpangan dengan proses eksekusi mati yang dilakukan pada 22 September lalu, sejumlah anggota DPR menyerukan dibukanya kembali kasus Tibo, dan dibentuknya tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang independen.
"Kami minta kasus Tibo dibuka dari awal, sejak 1998, dengan membentuk TGPF yang independen, yang berdiri di Jakarta, karena kalau di Poso akan tidak fair. Mengulang proses pengadilan sesat, dan putusan sesat," kata Retna Rosmanita Situmorang, anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), Jumat (29/9).
Aktivis hak asasi manusia (HAM) Todung Mulya Lubis, yang turut hadir dalam acara pembacaan pernyataan sikap, yang ditandatangani oleh 28 anggota DPR itu, juga menyatakan dukungannya atas pernyataan sikap itu. Turut hadir pada acara itu Ketua FPDS Constant Ponggawa, dan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Gayus Lumbuun.
"Eksekusi Tibo telah melanggar Undang-Undang (UU) No 22 tahun 2002 tentang Grasi, khususnya pasal 3, yang menyatakan permohonan Grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati," kata Constant.
Sesuai UU itu, pelaksanaan eksekusi mati dilaksanakan dua tahun sejak penolakan Grasi pertama oleh presiden, yang seharusnya baru pada November 2007. Pemerintah Indonesia seharusnya memberikan hak hidup pada Tibo CS sampai 10 November 2007, tapi hak tersebut tidak diberikan, dan malah mempercepat eksekusi.
Apalagi, kata Constant, UU No 22 tahun 2002 memberikan hak bagi Tibo cs untuk mengajukan Grasi kedua kepada presiden, tapi Mahkamah Agung tidak memberikan kesempatan dengan alasan belum waktunya diajukan.
"Eksekusi Tibo juga melanggar Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan tidak diperbolehkannya upacara keagamaan sebelum dimakamkan, serta proses otopsi dihambat. Ini sangat tidak manusiawi, dan melanggar HAM di Indonesia yang sudah 61 tahun merdeka," tandasnya.
Ditambah lagi temuan terbaru, dengan hasil otopsi terhadap jenasah Tibo cs yang menunjukkan adanya penganiayaan. "Ternyata terdapat hal-hal dimana proses eksekusi tidak dilakukan dengan prosedur yang benar," kata Constant. Menurut Todung, bukan tidak mungkin dengan masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia, yang telah meratifikasi dua kovenan PBB mengenai HAM, akan membuat Indonesia dilaporkan ke Komite HAM PBB, terkait dilakukannya eksekusi mati Tibo itu.
Lebih lanjut, Todung juga mendukung seruan agar kasus Tibo cs diusut hingga tuntas. Dia juga turut menyayangkan sikap Komnas HAM dalam menanggapi dilakukannya eksekusi mati Tibo cs. "Komnas HAM semestinya punya sikap tegas mengenai hal ini," katanya.
"Apa gunanya kita punya Komnas HAM. Saya kecewa Komnas HAM tidak bersuara sama sekali atas eksekusi Tibo," ujarnya. Dia juga menyatakan, jangan sampai Komnas HAM hanya digunakan sebagai alat kepentingan kekuasaan. [B-14]
Last modified: 30/9/06

No comments: