Tempo, Edisi. 33/XXXV/09 - 15 Oktober 2006
Pesta Berakhir Huru-hara
Kerusuhan meletik pasca-eksekusi terpidana mati Fabianus Tibo dkk. Tuduhan kedaluwarsa.
PESTA sedang marak di Desa Taripa, Poso, Sulawesi Tengah, Jumat petang dua pekan lalu. Anak-anak muda memetik gitar, para perempuan berdendang ria. Lagu-lagu dero—khas Poso—mengalun di setiap rumah warga. Mereka yang pulang awal boleh membawa buah tangan nasi jaha, hangat di bumbung bambu. Begitulah Taripa merayakan Padungku, pesta usai panen raya.
Tiba-tiba kalang-kabut. Ada deru helikopter, raungan sirene mobil, motor dan truk berpenumpang polisi di markas Kepolisian Sektor Pamona Timur, Taripa. Rombongan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Badroodin Haiti, datang mengecek raibnya Arham Badaruddiin dan Wandi Usman, warga Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Keduanya raib di Taripa, sehari setelah eksekusi terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.
Tersiar kabar Desa Taripa, serta Desa Ponggoe dan Masawe, akan disisir polisi terkait dengan hilangnya dua warga tersebut. Pesta bubar. Enam ribuan warga berduyun ke markas polisi, yang jaraknya hanya ratusan meter. Tetua warga, Albert Bisalembah, menemui Kepala Polda di teras markas.
Setelah beradu mulut, Kepala Polda ngeloyor meninggalkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah asal Taripa itu. ”Warga merasa dilecehkan,” kata Yandi Tandawuja, pemuda Desa Taripa. Warga pun marah. Heli polisi dirusak, truk dibakar, dan markas polisi diremuk. Kepala Polda terbirit-birit diamankan pasukannya ke hutan di belakang markas.
Ahad dini hari, empat bom mendentum di tempat terpisah. Dua di Kawua, Poso Kota, yang berjarak 100 kilometer dari Taripa. Warga Nasrani Kawua dan muslim Sayo semburat keluar rumah. Polisi meredam ketegangan, meski massa sempat berhadapan. Giliran berikutnya di Kayamanya, Poso Kota. Dua korban dibacok kelompok bertudung ala ninja hingga berlumuran darah. Ratusan polisi diturunkan, menjaga setiap sudut Poso.
Menurut versi polisi, pemicu awal kerusuhan adalah ketidakpuasan warga soal eksekusi Tibo dkk. Warga, yang sebagian mabuk arak usai pesta, datang menuding Kepala Polda pembunuh. Juru bicara Polda, Ajun Komisaris Besar Polisi Muhammad Kilat, mengatakan momentum itu sengaja ditunggangi oknum dari luar desa untuk menciptakan kerusuhan.
Sedikit titik terang pemicu kerusuhan mungkin bakal terungkap. Pada Sabtu pagi, 7 Oktober, dua warga Taripa yang hilang ditemukan dalam keadaan tewas. Jasad Arham dan Wandi tertanam di sepetak lahan di Desa Pongge’e. Polisi segera mengevakuasi kedua jasad dan menanyai sebelas penduduk yang dicurigai terlibat dalam peristiwa ini.
Pola kerusuhan tak berubah sejak konflik Poso meletup, delapan tahun silam. Meledak, lalu sekejap meredup. Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Paulus Purwoko, mengatakan kerusuhan kali ini kreasi kelompok Hasanudin, tersangka pengeboman, pembunuhan, penembakan, dan mutilasi di Poso. Dugaan itu merujuk pada empat bom Ahad lalu, yang mirip milik kelompok ini.
Bom meletup di Desa Tangkura pada 6 September, dan di Kawua pada 9 September. Bom Kawua berbahan baku plastik, sedangkan Tangkura berbahan logam. ”Hasanudin dan tiga lainnya sudah ditahan, delapan masih buron,” kata Purwoko kepada Tempo.
Hasanudin, pria asal Jawa Tengah, ditangkap polisi pada 25 Maret lalu di Palu. Menantu Ketua Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, H. Adnan Arsal, ini pernah berlatih militer di Filipina sebagai anggota Jamaah Islamiyah. Ia tak puas akan Deklarasi Malino, Desember 2001, dan masih ingin membalas dendam.
Seorang perwira polisi menduga mertua Hasanudin terlibat menggerakkan massa muslim. ”Apalagi setelah Hasanudin ditangkap polisi dan diancam hukuman mati,” katanya. Tapi, Purwoko tak mau berspekulasi. ”Kami hanya punya bukti Hasanuddin dan kawan-kawannya,” katanya.
Adnan Arsal sendiri tak membenar—kan kegiatan menantunya dikaitkan dengan organisasi yang ia pimpin. ”Itu pun kalau tuduhan polisi benar,” katanya. Ia tak yakin Hasanudin terlibat serangkaian kejahatan. Bagi anggota Dewan Syuro FSPUI, Ustadz Gani Israel, tuduhan itu kedaluwarsa. ”Polisi sering mendiskreditkan kami,” katanya.
Eduardus Karel Dewanto, Darlis Muhammad (Palu), dan Jems de Fortuna
Monday, October 09, 2006
Posted
@
9:31 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment