Berlembar Catatan Menjelang Ajal
Tempo, Edisi. 31/XXXV/25 September - 01 Oktober 2006
Tibo dan kawan-kawan berkukuh tak bersalah hingga dieksekusi mati. Kesaksian 12 halaman tulisan tangan diberikan hanya untuk wartawan Tempo Darlis Muhammad.
Penjara Petobo, Palu, Kamis petang, 21 September.Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, dua terpidana mati kasus Poso, bergantian menulis. Berlembar-lembar kertas putih dipenuhi dengan huruf kapital. Sesekali mereka menunjukkan tulisannya kepada Fabianus Tibo, terpidana mati kasus yang sama. Tibo mengangguk setuju.
Landasan Pacu Bandara Mutiara, Palu, Jumat dini hari, 22 September.Mata Tibo dan kedua kawannya tertutup. Tanda putih dilekatkan di dada kiri. Tiga regu penembak berada lima belas langkah di depan mereka. Hujan rintik. Lampu dipadamkan. Sekejap kemudian peluru mendesing. Ketika menyala kembali, mereka sudah terkulai.
NYAWA ketiganya melayang di ujung bedil regu tembak dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Pengadilan menyatakan mereka terbukti melakukan penyerangan berencana ke sejumlah tempat dalam kerusuhan Poso, enam tahun silam. Berbagai upaya mencari keringanan hukuman telah mereka tempuh sejak vonis dijatuhkan hakim di Pengadilan Negeri Palu pada 2001, tapi gagal.
Hingga menjelang ajal, mereka berkukuh tak bersalah. Keyakinan itu tertuang dalam tulisan di 12 lembar kertas yang dibuat hanya beberapa jam menjelang eksekusi. Tulisan itu dibuat setelah Tempo menyodori pertanyaan kesiapan mereka menghadapi eksekusi, lewat Pastor Jemmy Tumbelaka, pendamping mereka.
Bagi Tibo dkk., pertanyaan itu tak relevan. Yang lebih penting diungkapkan adalah versi mereka tentang kerusuhan Poso, yang sudah berkali-kali diutarakan di persidangan. Itulah yang mereka tuliskan. Ketahanan membuat catatan panjang menggambarkan suasana hati mereka yang tenang menjelang ajal.
Ajal ketiganya dipastikan setelah tim dokter memeriksanya. Salah satu dokter tim yang membuka pertama penutup mata Tibo bersaksi. Kulit cokelat pria 60 tahun itu memutih bersih. Hanya gerahamnya sedikit terkatup mungkin menahan rasa sakit. ”Seperti orang tidur saja,” katanya kepada Tempo.
Tibo memang sudah siap lahir batin menghadapi eksekusi mati sejak terangkatnya kasus Poso. Kepada Robertus Tibo anak sulungnya, Om Tibo—panggilan kakek satu cucu kelahiran Flores ini—berpesan agar tak dendam kepada orang-orang yang membencinya. ”Maafkan mereka,” kata Robert kepada jemaat peserta misa arwah di Gereja Katolik Santa Maria Palu selepas eksekusi.
Dua temannya juga sama siapnya. Adrianus Hode, salah satu anggota tim advokasi Tibo dari Padma Indonesia, bercerita tentang Marinus yang masih bisa ketawa-tawa sembari mengisap rokok kretek menjelang eksekusi. Bagi pria kelahiran Kupang 49 tahun ini, mati adalah bagian dari hidup. ”Kalau mau eksekusi saya, saya siap saja,” kata Marinus dalam percakapan dengan Adrianus, ketika itu.
Ketegangan justru terjadi di luar penjara. Sejak Kamis pagi, tak banyak pegawai Kejaksaan Negeri Palu memasuki kantornya di Jalan Sam Ratulangi. Suasana serupa terjadi di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah. Pejabat yang biasanya ramah meladeni tamu mendadak bungkam. Puluhan polisi bersenjata laras panjang membentengi kantor mereka.
Pada pagi yang sama polisi mulai melokalisasi penjara Petobo dengan membentang tali kuning pembatas. Tak seorang pun diperbolehkan masuk. Warga yang ingin melintas di depan penjara hanya boleh berjalan kaki. Kendaraan silakan berputar. Lokasi ini dipagar betis pasukan bersenjata.
Siang harinya diadakan misa pertobatan bagi Tibo dan teman-temannya di gedung itu. Hanya 25 kerabat dan keluarga yang diizinkan ikut. Keluarga Dominggus da Silva, pria kelahiran Maumere 39 tahun lalu, tak tampak. Ratusan umat mengikuti misa yang dipimpin Pastor Jemmy Tumbelaka dan Pastor Melky Toreh itu dari luar pembatas. Mereka bubar setelah misa usai.
Beberapa jam kemudian, tiga tim regu tembak dari Brimob Polda Sulawesi Tengah mulai menyiapkan diri di kawasan Gunung Ngata Baru. Mereka mengendap di bukit yang dikenal dengan sebutan Bukit Soeharto itu enam jam menjelang eksekusi. Pasukan di bawah satuan Brimob ini dibentuk sejak rencana eksekusi pertama, Desember tahun lalu.
Kembali ke Palu. Kerumunan umat Katolik berkumpul di Gereja Santa Maria di Jalan Tangkasi saat gelap sudah datang. Mereka mendoakan Tibo dan teman-temannya. Sementara di jalanan hanya tampak polisi berjaga-jaga dengan senjata laras panjang. Jumlah polisi kian banyak menjelang dini hari. Ibu kota Sulawesi Tengah itu terasa sepi di bawah guyuran hujan sejak sore, yang sudah lama tak turun.
Pengacara Tibo dari Padma Indonesia, Roy Rening, dan Pastor Jemmy ikut tegang. Pesan pendek masuk ke telepon seluler Roy dari seorang polisi. Dia diminta bersiap menuju lokasi eksekusi pukul 21.30 WITA. Roy menolak, ”Saya mau datang kalau petugas kejaksaan yang memanggil,” lalu matikan telepon selulernya.
Tak selang lama, Pastor Jemmy mendapat telepon dari Jakarta. Dia dikabari, eksekusi ditunda. Kabar ini membuat umat di dalam gereja spontan berucap syukur. Suasana riuh, ada yang langsung bernyanyi, ada pula yang menenangkan jemaat.
Suasana berbeda terjadi di Penjara Petobo. Persiapan eksekusi makin kencang. Tiga mobil Kijang, dua ambulans dan truk Brimob hilir-mudik di pelataran luar penjara. Lima belas menit setelah dini hari, tiba-tiba lampu penjara padam diiringi suasana gaduh di dalam penjara. Setengah menit kemudian lampu menyala lagi.
Sebuah truk tertutup loreng meluncur cepat dari dalam penjara, disusul mobil Kijang berisi anggota Brimob berpenutup kepala ala ninja. Pukul 01. 45 WITA, Tibo dieksekusi di Desa Peboya, ujung Bandara Udara Mutiara, Palu. ”Perjuangan melelahkan untuk sementara berhenti,” kata Pastor Jemmy.
Duka mengguyur ratusan umat di Gereja Santa Maria. Tangisan melengking sejadi-jadinya. Robert Tibo dan istrinya, serta dua adiknya Bernadus Bofi dan Frangki Hengki, berpelukan. Istri Marinus, Yasinta, hanya bisa mendekap tiga baju bola kesayangan suaminya. Tiga baju itulah satu-satunya warisan Marinus buat ke empat anaknya.
Pengumuman resmi soal eksekusi itu diucapkan juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Ajun Komisaris Besar Polisi Muhammad, esok harinya. Dia menyatakan proses hukum kasus Poso tetap berlanjut. Tibo dkk. bukan bukan satu-satunya kunci dalam kasus Poso. Polisi tetap mengusut dugaan keterlibatan 16 pelaku yang disebut-sebut Tibo ikut terlibat. ”Selama ada bukti,” katanya kepada Tempo.
Dari Jakarta, juru bicara Kejaksaan Agung I Wayan Pasek Suartha mengatakan, jenazah Tibo dan Marinus dikuburkan di tanah tempat tinggal mereka, di Morowali, Sulawesi Selatan. Sedangkan jenazah Dominggus dikebumikan di Pekuburan Kristen Peboya, Palu.
Enam jam selepas eksekusi, rusuh membelah Atambua dan Maumere, Nusa Tenggara Timur. Massa tidak bisa terima perlakuan yang dijatuhkan kepada Tibo dan kawan-kawan. Ribuan orang di Atambua merusak kantor kejaksaan negeri dan membakar rumah dinas jaksa di Jalan Timor Raya. Penjara Atambua dijebol, 205 tahanan kabur.
Aksi mereda setelah Uskup Atambua Mgr. Antonius Painratu bersama pejabat setempat turun tangan. Warga berangsur-angsur kembali ke rumah, 32 tahanan yang kabur menyerahkan diri lagi. Sedangkan di Maumere, kerusuhan menyebabkan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan kantor kejaksaan negeri rusak.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Paulus Purwoko mengingatkan, eksekusi Tibo semata-mata pertimbangan hukum. Dia minta masyarakat menjunjung hukum dan tidak membuat interpretasi sendiri-sendiri berdasarkan kepentingan atau solidaritas kelompok.
Eduardus Karel Dewanto, Jems De Fortuna (Kupang)
Monday, September 25, 2006
Posted @ 7:49 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment