Thursday, September 21, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Tarik Ulur Eksekusi Tibo Cs
Oleh Benget Silitonga

Walau sudah divonis mati, eksekusi terhadap Tibo Cs tampaknya belum akan menjadi kenyataan. Sebelumnya menurut informasi resmi Tibo Cs akan dieksekusi sebelum HUT Kemerdekaan 17 Agustus lalu. Namun karena alasan "teknis" seperti yang disebut Presiden SBY, eksekusi Tibo Cs ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Sepintas penundaan eksekusi ini patut diapresiasi karena dipandang akomodatif terhadap suara-suara protes dari mereka yang pro kemanusiaan dan anti hukuman mati. Selain itu penundaan ini juga relatif melegakan mereka yang berharap tabir gelap tragedi Poso bisa diungkap.
Namun tarik ulur eksekusi mati Tibo Cs tak kunjung mampu memberi kontribusi terhadap pengungkapan tabir gelap tragedi Poso. Alih-alih sebagai penghormatan terhadap HAM, tarik ulur eksekusi malah cenderung menjadi ajang ketidakpastian hak Tibo Cs untuk hidup. Ajal mereka kini serba tak pasti, digantung oleh state.
Faktanya penundaan eksekusi ini tampaknya bukan hanya disebabkan masalah teknis. Dalam konteks ini tarik ulur eksekusi Tibo Cs menyisakan pertanyaan. Adakah ini upaya serius pemerintah untuk mengungkap keadilan (bagi Tibo Cs) dan sekaligus mengungkap kebenaran bagi publik, atau sebaliknya? Apakah public opinion sudah begitu mempengaruhi proses hukum kita? Apakah ini cermin pemerintah yang nyaris tidak berwibawa dengan tekanan internasional? Beberapa analisis berikut mencoba menjawabnya.
Pertama, lebih dari sekadar pro-kontra soal hukuman mati, dan dugaan penguburan fakta, tarik ulur eksekusi Tibo Cs sesungguhnya menggambarkan paradoks hukum. Hukum yang bertujuan mencari keadilan dan kebenaran justru seringkali mengubur kebenaran dan keadilan itu sendiri. Itu terjadi ketika struktur, kultur dan aktor hukum kita belum mampu mengintegrasikan antara fakta hukum dengan fakta sosial politik ke dalam proses dan keputusan hukum yang diambil.
Dalam perspekti legal, Tibo Cs boleh saja terbukti secara hukum sebagai pelaku kerusuhan Poso. Namun ketika fakta sosial politik menunjukkan indikasi adanya "super aktor" di balik kerusuhan Poso, proses hukum tidak mampu merespon dan menggalinya lebih jauh. Implikasinya kebenaran dan keadilan tragedi kemanusiaan di Poso akhirnya berhenti dalam proses hukum Tibo Cs.
Mereka akhirnya harus menanggung seluruh sangkaan, dakwaan, dan "dosa" yang berkeliaran dalam tragedi Poso. Tibo Cs akhirnya menjadi tumbal dari sebuah peristiwa kekerasan yang sistematis yang tentu saja tidak hanya dilakukan pelaku-pelaku tunggal dan berdiri sendiri.
Upaya mengintegrasikan antara fakta hukum dengan fakta sosial politik untuk mengungkap tabir gelap tragedi Poso tentu saja memang membutuhkan kultur, sistem, dan aktor hukum yang cerdas, kreatif, dan inspiratif, terlebih dalam (sistem) hukum yang belum responsif. Di sinilah letak masalahnya.
Kultur hukum kita tampaknya masih berada dalam kondisi yang statis, dangkal, dan gersang. Sementara kualitas aktor hukum kita juga masih terbelenggu watak "bussiness (baca: justice) as usual". Mekanisme dan (proses) hukum hanyalah sebuah alur yang datar dan normatif. Para penegak hukum terpaku kepada "ritual" hukum legal formal yang membuat mereka tumpul, dan kehilangan daya untuk melahirkan terobosan hukum yang kreatif dan inspiratif.
Kondisi ini dimungkinkan oleh hegemoni hukum konservatif yang masih tetap mendominasi seluruh sistem, kultur, dan aktor hukum kita. Hukum demikian meletakkan tirani (sistem) di atas (suara) nurani. Hukum menjadi seperti kaca mata kuda yang berkutat hanya pada satu titik pandang pasal-pasal legal formal hukum saja. Hukum menjadi stagnan dan terkesan menghindari pencarian kebenaran dan keadilan yang memerlukan kreativitas dan inspirasi.
Memang Tibo Cs bukanlah korban pertama dan satu-satunya dari paradoks hukum. Ironi hukum(an) antara penyabung ayam dengan koruptor, antara pencopet kelas teri dengan pengutil harta negara, serta adanya perlakuan istimewa bagi terpidana yang memiliki uang dan kuasa, adalah contoh lain dari paradoks hukum. Tibo Cs menjadi istimewa karena mereka diyakini memegang "kunci" tabir gelap sebuah tragedi kemanusiaan. Di satu sisi mereka adalah penjahat yang harus dieksekusi namun di sisi lain mereka juga bisa menjadi saksi dan peniup pluit kebenaran tragedi Poso yang perlu dilindungi.
Kedua, tarik ulur eksekusi Tibo Cs sesungguhnya menggambarkan state yang inkonsisten dan ambigu untuk mengungkap keadilan dan kebenaran bagi warganya. Sikap inkonsisten dan ambigu itu pada akhirnya mengorbankan tatanan hukum dan rasa keadilan korban. Sikap ambigu melahirkan serial misteri kejahatan kemanusian di bumi pertiwi. Sebuah kejahatan besar awalnya memang berupaya untuk diungkap. Namun dalam prosesnya, karena dipandang akan memunculkan efek domino terhadap aktor- aktor yang kuat dan berpengaruh, proses tersebut tidak dituntaskan.
Akibatnya rakyat biasa (selalu) menjadi pecundang dan tumbal (baik sebagai "pelaku" maupun korban) dari peristiwa kejahatan, sementara kejahatan kemanusiaan itu sendiri tetap dibiarkan diselubungi tabir gelap. Ambiguitas state menjadikan kebenaran dan keadilan, yang sejatinya memang sudah relatif, tampak makin menjadi serba nisbi.
Sementara sikap inkonsisten membuat hukum makin tentatif dan spekulatif. Padahal hukum, lewat state yang menjadi suprastruktur, seharusnya berfungsi membuat hukum lebih defenitif dan lebih korektif. State idealnya menciptakan hukum yang nisbi menjadi lebih benderang. Ambiguitas dan inkonsistensi state untuk mengungkap kebenaran dan keadilan serta menegakkan hukum paling tidak disebabkan dua hal. Pertama, state belum sepenuhnya merdeka dari pengaruh elit atau kelompok untouchables yang menjadi aktor atau terlibat dalam konflik.
Kedua, state belum memiliki formula handal untuk mendamaikan tragedi kejahatan kemanusiaan di masa lalu dalam perspektif sistem hukum masa kini. Sebaliknya yang coba dilakukan adalah mendamaikan aktor dan kelompok pemicu konflik di masa lalu dengan state. Ini misalnya tampak nyata dalam sikap keraguan dan tarik ulur pemerintah untuk membentuk KKR.
Ketiga, tarik ulur eksekusi Tibo Cs tampaknya cenderung hanyalah upaya taktis pemerintah untuk berkompromi dan memuaskan kelompok yang kontra terhadap hukuman mati Tibo Cs. Bagaimana pun kasus ini telah menjadi isu sensitif yang hangat di level nasional dan internasional.
Adanya campur tangan berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk Surat Paus sebagai pimpinan umat Katolik sedunia, yang menolak hukuman mati terhadap Tibo Cs menjelaskan hal tersebut. Pemerintah tampaknya sangat ekstra hat-hati dalam kasus Tibo Cs. Pertimbangannya bila eksekusi Tibo Cs dipaksakan secara politis tentu saja kurang menguntungkan posisi pemerintahan SBY. Ia bisa mengalami sentimen negatif pasar di dalam dan luar negeri.
Apalagi di dalam negeri pemerintahan SBY telah direpotkan dengan berbagai peristiwa bencana alam dan isu-isu politik lainnya yang tidak menguntungkan pemerintahannya. Di lain pihak diplomasi luar negeri kita juga terpuruk pasca suaka warga Papua di Australia. Secara politis langkah ini memang safety dan masuk akal. Namun soalnya secara legal ini berbahaya. Hukum akhirnya (bisa) menjadi politis. Independensi dan kedaulatan hukum bisa saja dipertanyakan.
Eksekusi terhadap keputusan hukum akhirnya akan tergantung kepada suara-suara di luar proses peradilan dan sangat dipengaruhi oleh siapa yang "kua", apakah itu lewat public opinion ataupun lewat tekanan politik dan kekuatan massa dan modal. Gejala ini tampaknya makin subur belakangan ini. Mengatasnamakan keadilan, kebenaran, dan HAM eksekusi sebuah keputusan hukum bisa diinterupsi. Hukum jalanan akhirnya mengalahkan hukum formal.
Kasus Tibo Cs memang membuat posisi pemerintah, sebagai penyelenggara state serba dilematis. Sebagai negara hukum, pemerintah harus menjalankan tatanan dan putusan hukum. Namun untuk itu ia berhadapan dengan kuatnya tekanan publik yang meneriakkan keadilan ditegakkan, kebenaran diungkap, dan HAM dihormati.
Di sisi lain tabir gelap berbagai konflik dan kejahatan kemanusiaan di masa lalu tak pernah terungkap. Tarik ulur eksekusi Tibo Cs menjadi batu ujian kesekian kali bagi pemerintahan SBY untuk memastikan keadilan dan mengungkap kebenaran terhadap tragedi kemanusiaan di masa lalu.
Apakah pemerintah tetap tersandera dalam bingkai hukum (yang penuh cacat), terdesak dalam hukum jalanan berupa tekanan publik (yang massif), atau berani membuat terobosan beyond hukum? Sementara pertanyaan ini belum terjawab, yang pasti state telah menggantung-gantung ajal Tibo Cs!
Penulis adalah pekerja di Perhimpunan Bakumsu (Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut) Medan. Juga aktif di Inpires (Institute for Policy Reform Studies) Medan
Last modified: 20/9/06

No comments: