SUARA PEMBARUAN DAILY
Jalan Panjang Tibo, Marinus, dan Dominggus da Silva
"Saya seringkali lihat di TV soal eksekusi mati, saya benar-benar takut. Hidup saya tinggal beberapa saat lagi. Sebagai manusia jelas saya takut. Saya hanya berserah kepada Tuhan," demikian ucapan Fabianus Tibo (61) dalam wawancara khususnya kepada Pembaruan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A, Palu, Sulawesi Tengah, 6 April lalu.
Dalam wawancara khusus itu dia didampingi dua rekannya yang juga terpidana mati, Dominggus da Silva (39) dan Marinus Riwu (49). Juga ada penasihat rohaninya yang juga Pastor Paroki Santa Theresia Poso, Jimmy Tumbelaka, dua pengacaranya, Adrianus Hode dan Mikanos.
Tiga hari sebelumnya Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan mengeksekusi mati ketiga terpidana dalam waktu dekat. Palu dan Poso geger. Sejumlah warga yang simpati dengan Tibo menggelar aksi protes di Palu. Selama berhari-hari, aksi protes juga berlangsung di Jakarta dan sejumlah kota lain termasuk Nusa Tenggara Timur, kampung halaman ketiga terpidana. Bahkan sejumlah komunitas di dunia internasional hingga Vatikan pun meminta eksekusi dibatalkan.
Beberapa waktu kemudian, tepatnya 9 Agustus 2006, jantung Tibo Cs kembali berdegup kencang. Sebab, muncul surat dari Kejaksaan Negeri Palu, Sulteng, soal pelaksanaan eksekusi pada 12 Agustus 2006 tepat pukul 00.15 WITA. Surat itu dilayangkan ke keluarga Tibo Cs. Sontak ketiganya dan juga seluruh keluarga dan kerabat dekat kaget setengah mati. Protes kembali muncul. Buntutnya, Kapolri Jenderal Sutanto menunda eksekusi hingga usai HUT Kemerdekaan RI.
Mereka pun kembali menghitung hari. Penantian dan masa-masa menjelang ajal jelas tidak akan pernah mereka harapkan. Akhirnya datang hari penentuan. Senin, 18 Agustus 2006, keluarga Tibo Cs menerima surat dari Kejaksaan Tinggi Sulteng soal agenda eksekusi pada Jumat (22/9) dini hari.
Tibo, Marinus, dan Dominggus, akhirnya harus merelakan tubuh mereka ditembus peluru panas regu tembak dari Brigade Mobil Polda Sulteng, Jumat (22/9) sekitar pukul 00.40 WITA. Jenazahnya langsung dibawa ke RS Bhayangkara, Palu.
Dibanding ketika mendengar berita eksekusi pertama awal Maret lalu, kondisi Tibo Cs memang berbeda. Sebenarnya, beberapa jam menjelang jadwal eksekusi 12 Agustus 2006 itu, Tibo Cs sudah menyatakan siap menerima eksekusi. "Permintaan saya, sebelum dieksekusi saya ingin sampaikan pesan terbuka kepada presiden, bahwa kami hanya dijadikan korban," ujar Tibo.
Begitu juga saat akan dieksekusi Jumat (22/9) dini hari. Tibo katakan, "Kami tidak takut dengan eksekusi ini. Kami siap dieksekusi meski kami menolak eksekusi ini. Kami tidak bersalah. Dengan keluarga, kami merasa sangat berat. Kami telah menelantarkan mereka selama ini. Kami hanya mampu berdoa untuk mereka agar memaafkan kami. Terima kasih untuk semua pihak yang bantu keluarga selama ini. Terima kasih pula untuk semua orang yang mengusahakan supaya kebenaran dan keadilan diungkap dan ditegakkan. Kami merasa bahwa Tuhan memberikan yang terbaik selama ini."
Sementara Marinus juga tegar. "Untuk eksekusi ini saya tidak takut. Saya tidak bersalah, tapi saya siap menghadapi kematian ini. Saya yakin di surga akan berjumpa suatu saat dengan istri dan anak. Saya sungguh merasa kuat. Sudah enam tahun lebih saya berdoa di sini. Saya selalu bertanya apa yang sebenarnya yang dituduhkan kepada kami? Ini hanya upaya melindungi 16 nama. Tangan saya bersih dari darah," ujar Marinus.
Hal serupa dikatakan Dominggus. "Hidup dan mati, Tuhan yang menentukan, maka saya tidak takut menghadapi masalah ini. Keadilan tidak berpihak kepada kami, masyarakat kecil. Kurang lebih tujuh tahun kami ungkapkan kebenaran, tapi selalu dibungkam aparat penegak hukum. Walaupun saya sudah mati, saya tetap tidak terima eksekusi mati itu," tutur Dominggus.
Kepada Pembaruan, Tibo pernah mengatakan, "Kalau Tuhan melihat dalam kasus Poso ini saya berbuat kejahatan, mungkin saya sudah mati lama. Tetapi di balik itu saya juga berpikir ada jalan Tuhan. Mungkin dengan adanya pengungkapan 16 nama, kasus Poso terungkap. Kejahatan-kejahatan di Poso bisa terungkap melalui kami bertiga, dan saksi-saksi orang Poso lainnya," tuturnya.
Tibo Cs diputus hakim PN Palu dengan pidana mati pada 5 April 2001 oleh majelis hakim yang diketuai Soedarmo. Mereka dinilai bersalah sesuai dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yakni melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama, melakukan pembakaran, dan penganiayaan secara berlanjut. Dakwaan primer yakni melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dan subsider Pasal 338 jo Pasal 55 (1) ke-1 jo 64 ayat (1) ke-1 jo 64 ayat (1) KUHP.
Pada 17 Mei 2001 Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sulteng yang diketuai Munziri Syarkawi, menguatkan putusan PN Palu. Lalu, pada 11 Oktober 2001, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Tibo Cs. Menurut majelis hakim kasasi yang diketuai Iskandar Kamil, ketiga terpidana itu tetap harus dihukum mati.
Kemudian pada 16 September 2002, Tibo Cs mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Namun ditolak MA pada 31 Maret 2004. Penolakan itu diambil dalam sidang permusyawaratan di MA yang diketuai German Hoediarto pada 27 Februari 2004. Sebulan kemudian, Tibo Cs mengajukan permohonan grasi ke presiden, tetapi juga ditolak pada 10 November 2005.
Pada 16 Januari 2006, Tibo Cs diperiksa tim penyidik Polda Sulawesi Tengah terkait keterlibatan 16 nama yang dituding aktor utama kerusuhan Poso Jilid III. Lalu pada 1 Februari 2006, tim kuasa hukum Tibo Cs melapor ke Mabes Polri atas dugaan keterlibatan 16 aktor dan pelaku utama dari kerusuhan Poso jilid III.
Setelah itu pada 9 Maret 2006 kuasa hukum Tibo Cs yakni Tim Pembela Umum pada Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (Padma Indonesia) mengajukan PK kedua ke MA, setelah adanya sembilan bukti baru. Selain itu, pada 27 Maret 2006 Tibo Cs mengajukan grasi kedua ke Presiden Yudhoyono.
Pada 9 Mei April 2006, lima hakim agung yakni Marianna Sutadi sebagai ketua majelis, Djoko Sarwoko, Timur P Manurung, Harifin A Tumpa, dan Paulus E Lotulung menolak PK kedua Tibo Cs. Mereka menilai, terdapat tiga UU yang menyatakan PK kedua tidak dibenarkan.
Pasal 23 Ayat 2 UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana disebutkan bahwa terhadap putusan PK, tidak dapat dilakukan PK. UU No 5/2004 tentang MA Pasal 66 Ayat 1 menyatakan, permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali. Dalam UU No 8/1981 tentang KUHAP Pasal 268 Ayat 3 menyatakan, permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Soal permohonan grasi kedua ke presiden, ternyata tak ada jawaban resmi. Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS usai rapat mendadak dengan presiden di Istana Kepresidenan, 7 April 2006 menyatakan Tibo Cs tetap dieksekusi.
''Bahkan, Presiden memerintahkan segera dilaksanakan hukuman mati terhadap Tibo dan kawan-kawan dan tidak ada alasan lagi untuk menunda pelaksanaan hukuman mati mereka," ujarnya.
Kini Tibo Cs sudah tiada. Pengungkapan kasus kerusuhan Poso masih misteri. Mereka telah menjadi korban ketidakadilan. [Pembaruan/Yuliantino Situmorang]
Last modified: 22/9/06
Saturday, September 23, 2006
Posted @ 10:23 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment