Friday, September 22, 2006

Radar Sulteng, Kamis, 21 September 2006
Eksekusi Tibo CsDalam Kematian Ada Kehidupan
Oleh: Syarifuddin Abdullah

NYAWA manusia tetaplah nyawa manusia, yang sekali dilenyapkan takkan kembali lagi. Maka, menghadapi regu tembak, yang juga populer dengan sebutan algojo, pastilah bukan harapan semua orang. Tapi, kalau eksekusi jadi dilaksanakan, tiga terpidana mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva akan menghadapi regu tembak dari Polda Sulteng. Terus terang, membayangkannya saja tidak sanggup. Ngeri.
Kalau memposisikan diri sebagai keluarga atau orang dekat dengan semua atau salah satu terpidana mati Tibo cs, pastilah berat rasanya membayangkan seorang yang kita cintai menghadapi regu tembak. Perasaan dan emosi akan bercampur aduk, turun naik, dan semoga pada akhirnya kita pasrah.
Tentu, kita bisa berdebat semalam suntuk bahkan sampai subuh berikutnya lagi, tentang logika hukum yang melatarbelakangi vonis dan eksekusi mati terhadap Tibo cs. Tapi, renungan berikut ini barangkali bisa mengantar kita untuk menyikapinya dengan kearifan.
Tibo cs bukanlah orang yang pertama dan bukan pula yang terakhir menjalani eksekusi mati. Dan setiap instrumen hukum yang membolehkan hukuman mati, pada dasarnya mengacu pada dua variabel utama, yaitu pertama kematian sang terpidana (yang akhirnya harus dihukum mati), dan kedua, kematian orang lain yang diakibatkan oleh terpidana tadi. Artinya, hukuman mati umumnya dijatuhkan terhadap terpidana yang sudah terbukti secara hukum melakukan pembunuhan dan/atau melakukan kejahatan yang berpotensi menimbulkan kematian orang lain dan/atau membahayakan kehidupan banyak orang.
Tegasnya, kalau mau bersikap fair, segala sesuatu harus disandingkan dengan bandingannya. Artinya, harus diyakini bahwa semua bukti yang diajukan selama persidangan Tibo cs. adalah kebenaran dan bukan rekayasa. Putusan yang seragam pada semua jenjang peradilan terhadap kasus Tibo cs. harus diposisikan sebagai kebenaran maksimal. Sebab kalau diyakini bahwa proses pengadilan itu berlangsung berdasarkan perasaan dan asumsi, sungguh celaka hakim yang menjatuhkan vonis mati terhadap tiga terpidana tersebut.
Namun, dengan logika terbalik, kita juga dapat mengatakan bahwa sungguh celaka pula para eksekutor dan pelaksana eksekusi (Kejati dan Polda Sulteng) yang mengulur-ulur waktu eksekusi, terhadap terpidana mati yang menurut keyakinan hakim sudah terbukti "melakukan pembunuhan berencana, pembakaran dan penganiayaan yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut" dan berlangsung di beberapa lokasi, selama periode konflik Poso.
Pada akhirnya jiwa atau nyawa manusia adalah inti HAM dan/atau harta paling esensi dalam kehidupan. Dari sini kemudian muncul ungkapan bahwa kalau kehidupan adalah aqidah, maka mengakhiri kehidupan seseorang bukanlah aqidah.
Dalam Islam ditegaskan bahwa membunuh satu nyawa manusia tanpa alasan yang benar, sama dengan membunuh seluruh nyawa manusia di muka bumi. Namun, legalisasi hukuman mati dalam Islam (dalam Quran disebut qishash), terutama bertujuan menciptakan efek jera terhadap orang yang masih hidup agar tidak melakukan kejahatan yang mungkin mengakibatkan kematian orang lain dan pelaku pembunuhan dihukum mati. Karenanya, disebutkan dalam ayat Quran "Dalam kematian (seorang yang dihukum mati melalui qishash) terdapat kehidupan (orang lain yang mungkin melakukan pembunuhan atau menjadi korban pembunuhan)".
Tentu, hukuman mati berarti mengakhiri hidup seseorang dan tidak mungkin dikembalikan lagi, meskipun di kemudian hari, kebenaran yang sesungguhnya dapat mengungkapkan yang berbeda. Namun, setiap lini kehidupan tidak satu pun yang sempurna, seluruhnya berpotensi cacat, termasuk proses peradilan Tibo cs. Dan sekali lagi, sebagai manusia biasa kita hanya mampu mengatakan itulah kebenaran maksimal. Sebab, mendambakan kebenaran mutlak dari kehidupan yang tidak sempurna itu, bagi saya, adalah sebuah retorika.
Selanjutnya, sebagai warga Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut suatu agama tertentu, kita semua dituntut dan wajib menghargai doktrin agama lain. Namun, doktrin agama ini harus dihapami dan diimplementasikan dalam bingkai kenegaraan. Olehnya, pernyataan seorang tokoh bahwa eksekusi mati Tibo harus dibatalkan karena masih diragukan, sebab hukum Islam menegaskan bahwa hukuman mati tidak boleh dilaksanakan berdasarkan keraguan, menjadi tidak relevan.
Dalam hal ini, acuan yang perlu ditegaskan bahwa vonis mati terhadap Tibo cs bukan berdasarkan doktrin keagamaan tertentu, tapi berdasarkan instrumen hukum yang berlaku di Indonesia. Dan seperti diketahui, di Indonesia terdapat dua instrumen hukum mengabsahkan hukuman mati, yaitu KUHAP (warisan Belanda) dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Terorisme (produk hukum Era Reformasi). Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat sendiri, dari 50 negara Bagian yang ada, 38 (tiga puluh delapan) di antaranya masih mempertahankan instrumen hukuman mati.
Selain itu, sejak awal, khususnya setelah Deklarasi Malino, semua komponen strategis masyarakat di Sulteng sepakat bahwa kerusuhan Poso bukan konflik agama, melainkan lebih sebagai konflik kepentingan yang sudah complicated, yang secara kebetulan melibatkan dua komunitas di wilayah Poso: Muslim dan Kristen. Karena itu, kalau kasus Tibo cs direspon dengan dokrtin keagamaan (baik Islam ataupun Kristen) berarti secara tidak langsung kita mengakui bahwa Konflik Poso adalah konflik agama. Dan ini merupakan kesalahan besar.
Basis acuan dan orientasi semua pihak mestinya mengarah pada penyelesaian konflik, bukan justru berorientasi pada penyuburan konflik. Karena itu, sungguh akan merupakan kesalahan besar kalau dipahami bahwa pelaksanaan eksekusi Tibo cs diartikan sebagai kemenangan komunitas Muslim vs kekalahan komunitas Kristen. Begitu pula sebaliknya, akan keliru besar kalau dikatakan bahwa penundaan atau bahkan pembatalan eksekusi sekalipun identik dengan kemenangan komunitas Kristen vs kekalahan Komunitas Muslim.***
(Syarifuddin Abdullah adalah redaktur pada buletin Jumat Madani Jakarta, kini tinggal di Jakarta)

No comments: