Friday, September 22, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Keadilan Menjelang Ajal
Oleh Antonius Sujata

ada hari Senin tanggal 18 September 2006 terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marianus Riwu menerima pemberitahuan dari Jaksa akan dilaksanakannya eksekusi tembak mati terhadap mereka. Menurut rencana, eksekusi akan dilaksanakan Jumat dini hari, 22 September 2006.
Undang-Undang No 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati menyebutkan: Dalam 3x24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa sebagai eksekutor memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati. Pada saat itu menurut ketentuan, terpidana dapat mengemukakan pesan atau permohonan kepada eksekutor.
Biasanya pesan tersebut berupa keinginan untuk bertemu dengan keluarganya, didampingi rohaniwan pada saat pelaksanaan, atau pesan agar jenazahnya dikubur di tempat tertentu.
Dari segi kemanusiaan, pesan yang disampaikan para terpidana ini semestinya memperoleh perhatian, agar keluarga maupun jiwa terpidana dapat dengan tenang menghadapi kematian. Sementara itu, mengenai penguburan, menurut undang-undang jenazah terpidana wajib diserahkan kepada keluarga atau sahabat mereka. Kecuali jika berdasarkan kepentingan umum eksekutor memutuskan lain.
Namun kepentingan umum ini tolok ukurnya tidak ada dan tentunya menyerahkan jenazah kepa- da keluarga apalagi dalam permintaan sudah sewajarnya jika penguburannya diserahkan kepada ke- luarga. Beberapa waktu yang lalu kita mendengar bahwa salah satu permintaan Terpidana adalah agar jenazahnya dapat dimakamkan di Flores. Sementara Fabianus Tibo meminta jenazahnya dapat dimakamkan di Poso.
Permintaan terakhir dari para Terpidana yang tidak dikabulkan, atau tidak dipertimbangkan oleh eksekutor akan sangat menusuk kejiwaan keluarga Terpidana, dan pada gilirannya dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan berkepanjangan, bahkan mungkin menjadi dendam yang menyakitkan bagi sanak keluarga, serta sahabat-sahabat yang mereka tinggalkan.
Karena itu sungguh amat bijaksana, seluruh permohonan terakhir para Terpidana yang rasional dan dapat diberikan sebaiknya dipe- nuhi. Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu didakwa dan dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana, pembakaran dan penganiayaan yang dikenal dengan Peristiwa Poso.
Sejak awal mereka menyangkal telah melakukan rangkaian perbuatan yang didakwakan. Bahkan pada saat kejadian, mereka tidak berada di tempat dimaksud. Fabianus Tibo menyampaikan 16 (enam belas) nama orang yang menurutnya terlibat.
Putusan pengadilan juga menyatakan bahwa Tibo Cs bukan pelaku langsung. Namun tidak pernah disebutkan siapa pelaku langsungnya dan bagaimana hubungan antara Tibo Cs sebagai bukan pelaku langsung (dader) dengan para pelaku langsung.
Banyak yang berpendapat bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya mengenai penyertaan tidak membedakan atau membagi pelaku sebagai pelaku langsung ataupun pelaku tidak langsung. Justru putusan Pengadilan Negeri Palu tanggal 3 April 2001, yang diketuai oleh Sudharmo, SH dengan anggota Ferdinandus, SH dan Ahmad Fauzi, SH sampai sekarang banyak sekali menghadirkan pertanyaan, namun kemudian dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi, kasasi Mahkamah Agung dan juga dengan Majelis Peninjauan Kembali. Dengan kata lain, secara prosedural seluruh mekanisme hukum sudah final.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah keadilan prosedural atau keadilan formal tersebut identik dengan keadilan substansial? Setiap kali eksekusi akan dilaksanakan, maka selalu mengalir protes-protes dari berbagai pihak. Protes tersebut lebih dilandasi oleh keinginan untuk menyelamatkan nyawa Tibo Cs dalam arti keadilan substansial (hakiki) bukan dalam arti keadilan prosedural.
Sungguh amat menyedihkan apabila ternyata Tibo Cs tidak layak dieksekusi mati, karena mereka bukan pelaku. Masyarakat nasional maupun internasional akan mencela sebagai suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia ketika tiga orang manusia tidak berdosa harus menjalani hukuman mati.
Semestinya, kondisi seperti ini menjadi perhatian utama bagi pihak-pihak yang bertanggungjawab atas eksekusi. Dalam hukum prosedural terdapat adagium: justice delayed is justice denied. Apabila ada penundaan, antara lain mengenai pelaksanaan eksekusi pidana mati yang berlarut-larut pada hakikatnya sama saja dengan meniadakan keadilan itu sendiri.
Sebaliknya dalam kasus Tibo Cs yang terjadi bukan penundaan berlarut melainkan "ketergesaan yang kurang patut". Sehingga dilihat dari asas kepatutan (Equity principle) sama artinya sebagai keadilan yang tidak dirasakan oleh terpidana.
Pidana Mati
Pidana mati memang masih diakui berlaku dalam hukum positif di Indonesia. Namun berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 28A dengan tegas menyatakan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Terlebih lagi Pasal 28 I ayat (1) mengatakan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan seterusnya, adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dengan kata lain ketentuan hukum positif Indonesia yang masih memberlakukan pidana mati sudah tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar.
Sehingga keabsahan eksekusi mati atas Tibo Cs mestinya memiliki landasan hukum yang kuat, seharusnya landasan yang lebih tinggi adalah landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945.
Apalagi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) secara nyata mengemukakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup (rights to life) dan memperoleh perlindungan hukum, siapapun tidak berwenang mencabut hak tersebut.
Sementara itu saat ini juga sudah banyak negara yang mengadopsi/meratifikasi Second Optional of International on Civil and Political Right Aiming of the Abolition of Death Penalty.
Dengan demikian hukuman mati secara internasional sudah semakin ditinggalkan dari hukum positif di berbagai negara.
Ketika suatu pidana mati dilaksanakan sementara kaidah yang melandasi dipertanyakan dan keadilan hakiki belum ditegakkan sebagaimana mestinya, maka pada saat itu pasti proses penegakan hukum akan menjadi bulan-bulanan. Citra Indonesia di masyarakat internasional terutama dalam memberi perlindungan Hak Asasi Manusia pasti akan merosot drastis. Bukan mustahil segala upaya yang telah dibangun selama ini menjadi sia-sia.
Yang muncul adalah lembaran hitam sejarah kemanusiaan. Sebenarnya para penegak hukum yang bertanggung jawab dapat dengan tenang mempertimbangkan eksekusi mati sebelum dilakukan.
Apalagi menurut Undang-Undang No 22 Tahun 2002 tentang Grasi khususnya Pasal 3 menyatakan: Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Sebagaimana pernah kita baca melalui berbagai media Tibo Cs melalui kuasa hukumnya berdasarkan Undang-Undang Grasi telah mengajukan permohonan grasi untuk kedua kalinya.
Permohonan tersebut bukan dilandasi oleh suatu pengakuan untuk memperoleh pengampunan, akan tetapi lebih dilandasi oleh keinginan agar mereka tidak dipidana karena perbuatan yang secara materiil tidak dilakukan.
Tibo Cs adalah orang-orang yang amat sederhana dan tidak banyak yang mengenal mereka. Keadilan akan terpuruk dan terperosok ke dalam lembah yang begitu kelam ketika tiga nyawa melayang dengan sia-sia dan menjadi korban yang mengatasnamakan keadilan secara prosedural.
Keadilan demikian tidak menyentuh hakekat sebenarnya. Sungguh amat menyedihkan ketika nantinya kebenaran hakiki dapat terungkap sementara jasad Tibo Cs sudah terbaring dalam kuburan yang gelap dan sunyi.
Sampai dengan menjelang akhir hayat Tibo Cs masih mendambakan keadilan yang tidak kunjung datang. Selamat jalan Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu.
Penulis adalah Ketua Komisi Ombudsman Nasional
Last modified: 20/9/06

No comments: