Kompas, Minggu, 24 September 2006
Requiem
Suka Hardjana
Requiem adalah bagian dari misa suci Ordinarium dan Proporium yang disatukan sebagai ujud ungkapan ibadah doa kematian umat gereja Katolik Roman untuk seseorang yang telah meninggal dunia agar arwahnya diterima dalam heneng-heningnya ketenangan abadi rasa damai di sisi Tuhan yang Maha Pengampun. "Requiem aetenam dona eis, Domine", demikian kepanjangan asli mantra suci itu berbunyi. "Tuhan, limpahkanlah kepada mereka keheningan abadimu".
Mantra suci ini telah berumur ratusan tahun. Teks aslinya dilafalkan sebagai bagian dari doa arwah kematian oleh mullah tertinggi gereja Katolik Roman, Paus Pius V, pada pertengahan abad ke 16 (1570). Ibadah doa requiem diteruskan sebagai misa arwah oleh umat Kristen Katolik di seluruh dunia hingga hari ini. Hanya Allah yang bisa dan punya wewenang menganugerahi ketenangan abadi bagi arwah manusia yang dengan berkah dan pengampunannya akan kembali ke haribaannya. Wolfgang Amadeus Mozart menciptakan sendiri doa akhir ibadah kematiannya dalam bentuk karya terakhirnya yang sangat indah, Misa Requiem (1791), hanya beberapa saat sebelum komponis besar itu meninggal dunia. Sebagai taqwa kepada Tuhan Allah mereka, doa misa requiem bagi umat Katolik yang meninggal dunia adalah wajib hukumnya. Ibadah manusia kepada Allah yang Maha Kuasa tak boleh dan tak bisa dilarang.
Hari-hari ini saya (saya tak berhak menggunakan kata "kita"!) menundukkan kepala dan meneteskan sebutir dua air mata bagi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu yang telah harus menjalani vonis kematian oleh keputusan tangan dan hukum manusia. Tibo, da Silva, dan Riwu bukan Mozart. Mereka tak bisa menciptakan karya akhir dalam bentuk misa requiem buat diri mereka sendiri. Permohonan ibadah doa requiem mereka bahkan ditolak oleh Pengadilan Negeri Palu. Sebagai eksekutor hukum manusia, manusia telah melompati wewenang batas hukum kuasa Allah atas para hambanya—dalam hal hidup dan mati—dengan mencabut nyawa (mematikan!) seseorang.
Suatu bentuk lain dari "pembunuhan" yang diresmikan. Sebagian manusia juga telah (berani-beraninya) melampaui tuah kemuliaan adat leluhur yang telah dianut dan dipujikan ritusnya oleh banyak suku-suku bangsa di dunia, ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.
Adat yang bersandi kepercayaan mengabulkan permintaan terakhir yang berhubungan dengan kearifan hidup di alam fana dan baka bagi orang yang akan meninggal dunia. Epik besar Bharata Yuda menceritakan kearifan ini. Permintaan akhir panglima perang kerajaan Hastinapura, Resi Bhisma, yang menghendaki onggokan anak panah ditancap di punggungnya sebagai bantalan layon (jasad) menjelang ajal dikabulkan. Dengan penuh takzim dan rasa hormat Arjuna memenuhi permintaan ’lawan’ sekaligus leluhurnya itu. Sejuta anak panah dihujamkan Arjuna ke punggung sang Begawan sebagai bantal kematian!
Di negara Amerika Serikat yang super sekular pun ritus permintaan akhir kematian masih tetap dihormati. Bahkan juga untuk eksekusi mati bagi penjahat atau pembunuh sekeji apa pun! Tidak demikian halnya dengan Rumah Pengadilan Negeri Palu di Indonesia atas penerima keputusan eksekusi hukuman mati yang dihalalkan oleh ’ketokan palu negara’. Padahal ketiga penerima eksekusi hukuman mati di Palu itu konon adalah orang-orang percaya yang beriman.
Saya (sekali lagi, saya tak berhak menggunakan kata "kita"!) tak hendak mencampuri masalah hukum yang tidak saya mengerti. Dunia pengadilan (bukan keadilan?) hukum yang labirin kawasan ruang-ruang dalamnya bagaikan rimba hutan belantara hanya bisa dimasuki oleh mereka yang mengerti dan memiliki penguasaan kekuatan siluman yang penuh trik dan lika-liku retorika yura. Yang hendak saya katakan dalam pojok kolom sederhana ini hanyalah sebuah lantunan kecil sebagai tanda empati terhadap fatalitas kematian anak manusia yang harus ditanggung—juga oleh para sanak saudara, kerabat, anak, dan orangtua mereka—sebagai akibat dari dalih-dalih dalil hukum manusia yang harus dimenang-kalahkan-mewakili begitu banyak pihak dalam kesumat dendam dan kepentingan.
Agaknya ada dilema hukum dan pengadilan-atau hukum dan keadilan, yang untuk banyak orang di banyak negara (yang pernah saya dengar) sebenarnya tak lain hanyalah involusia dalih-dalih artifisialisasi (peng)aturan kekuasaan yang diteguhkan. Gerbang dalih utamanya—tentu saja—adalah peradaban. Manusia adalah makhluk hukum, katanya. Hukum? Siapa pembuatnya? Siapa pelaksananya? Siapa terkena hukum? Bagaimana cara hukum bermain? Bagaimana nasib korban terkena hukum? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu semua ada jawabnya. Tertulis pada buku-buku dan aturan-aturan kitab yuridis dalam formulasi hukum negara. Komplet dan resmi-sebagai infolusia dalih-dalih (peng)aturan artifisialisasi kekuasaan!
Di Indonesia dan di seluruh dunia masih banyak orang celaka, menderita—bahkan mati—di luar maupun di dalam kuasa hukum, yang dibuat oleh manusia juga. Peradaban manusia memang telah menghasilkan hukum, tetapi hukum tak selalu mencerminkan peradaban. Sebagai manusia kecil yang kurang beriman dan kurang taqwa, hari-hari ini saya menundukkan kepala dan menitikkan satu dua butir air mata bagi mereka yang harus menderita dan sengsara karena permainan hukum manusia. Bukan karena kuasa hukum Allah! Sebentuk empati naif paling kuno dan primitif yang —puji Tuhan—masih saya miliki. Requiem aetenam dona eis, Domine. Berkatilah mereka ya Tuhan, dalam keheningan abadimu!
Wednesday, September 27, 2006
Posted @ 8:17 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment