Monday, September 25, 2006

Komentar, 25 September 2006
Penuturan Tibo cs sebelum dieksekusi(2)
Diselamatkan Orang Bercelana Loreng…

FABIANUS Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu sudah tiada. Mereka telah dieksekusi tembak Jumat (22/09) dini hari di sebuah tempat dekat Desa Poboya, Keca-matan Palu Selatan. Apa dan bagaimana sampai Tibo cs terjebak, ditahan, dan akhirnya mengakhiri hidup di depan regu tembak? Berikut penuturan Tibo ketika masih hidup yang dibenarkan Dominggus dan Marinus sebagaima-na diperoleh dari sumber Independent Media Center Jakarta yang dikutip jawaban.com. Berikut lanjutannya. Oleh kemurahan Tuhan sa-jalah, saya bisa menerobos di tengah-tengah massa dan kembali ke dalam asrama. Saat itu saya sudah tidak melihat lagi seluruh penghuni asrama. Rupanya mereka sudah menyelamatkan diri lewat belakang asrama naik ke gunung, tinggal saya sen-dirian di dalam asrama. Saya tetap hanya berdoa “Tuhan lindungilah kami”. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sese-orang yang memakai sepati lars, berkaos loreng, juga ber-celana loreng seperti seorang tentara yang mengatakan ke-pada saya “Om cepat lari sela-matkan diri”, saya jawab teri-ma kasih. Saat itu pula lewat belakang asrama saya menu-ju gunung menyelamatkan diri.Tanpa disangka kami bisa bertemu dan berkumpul di atas gunung (dengan peng-huni asrama). Puji Tuhan, te-man-teman lain menyangka bahwa saya sudah mati, teta-pi Tuhan menyelamatkan sa-ya, berkumpul dengan anak-anak, pastur, suster dan para guru, kami pun menengok ke bawah, gumpalan-gumpalan asap tebal sudah meng-hanguskan rumah gereja, as-rama tinggal, aula dan lain-nya. Selanjutnya kami mulai ber-jalan bersama dengan anak-anak panti asuhan berjumlah 85 (delapan puluh lima) orang anak, tidak terhitung para wali/orangtua, guru, suster, pastur. Akan tetapi pastur, suster serta sopir pastur su-dah terlebih dahulu berpisah di kebun milik Daeng Hulle.Saya dan rombongan tetap berjalan walaupun belum sempat makan, kami harus selamat. Dalam hati saya ber-pikir bahwa jebakan-jebakan kepada kami sudah disusun rapi. Rupanya mereka ingin supaya kami terlibat dalam setiap masalah yang terjadi. Semakin jauh kami berjalan, semakin pula menguras te-naga, hanya buah-buah dan makanan apa adanya yang kami dapati untuk menguat-kan tubuh kami disertai doa kepada Tuhan.Akhirnya kami tiba di pinggir kali. Sambil melepas lelah kami bertemu dengan seorang masyarakat yang nama: Henry Mangkawa war-ga Desa Tambaru. Saya kata-kan tolong kami, karena kami dikejar sebuah kelompok dengan tuduhan menyerang Desa Kaimanya semalam. Bahkan mereka juga menu-duh bahwa kamilah yang membunuh polisi serta mantan Lurah Kaimanya. Akibatnya, gereja kami St Theresia Poso dibakar oleh massa kelompok tersebut. Tapi syukurlah anak-anak, serta pastur, suster dan guru dapat diselamatkan. Bapak Herry katakan: “kami akan meno-long bersama seluruh warga Desa Tambaru, akan tetapi kami menolong dulu rombo-ngan yang lebih dahulu, yang dipimpin oleh Ir Lateka, itu orangnya yang lagi duduk di bawah pohon kelapa yang ke-palanya diikat dengan han-duk”. Rupanya Sdr Lateka sudah terluka parah dan seorang pe-rawat di Desa Tambaru mera-watnya. Setelah pertolongan warga kepada Sdr Lateka dan anggotanya selesai, mereka langsung menuju Tentena, karena mobil mereka sudah datang. Sdr Lateka selalu me-megang radio (HT) untuk komunikasi.Sesudah rombongan Lateka pergi barulah saya dan rom-bongan ditolong oleh Bapak Herry serta seluruh warga de-sa Tambaru. Selanjutnya jam menunjukkan 03.30 wita (subuh) tanggal 24 Mei tahun 2000, kami meninggalkan Desa Tambaru menuju Tente-na, sampai di Tentena jam 06.00 wita, sebelumnya kami mampir di desa Kuku Umbu menurunkan anak-anak panti asuhan yang tinggal di Desa Kuku. Sampai di Tentena kami mendapat perintah mengikuti petunjuk yang dilakukan oleh Sdr Paulus Tungkanan. Ru-panya beliau sangat dihor-mati oleh Kelompok Merah. Kami tidak bisa berbuat apa-apa apalagi kami hanya sebagai warga pendatang yang tujuannya untuk men-cari hidup untuk masa depan anak-anak kami. Syukur anak-anak panti asuhan yang kami bawa dari Poso diper-bolehkan pulang ke rumah beserta para guru, suster, pastur dan lainnya. Sedang-kan kami tetap tinggal di Tentena dengan maksud dan tujuan yang tidak kami tidak tahu. Saya dan Marinus juga Dominggus saat itu sudah dipisahpisahkan di Tentena.Suatu ketika saya ikut per-temuan di Desa Kelei, kurang lebih 4 (empat) km dari Ten-tena di rumah anaknya Sdr Herman Parito. Hasil per-temuan tersebut saya dipe-rintahkan untuk menuju Desa Tagolu, saya sempat ber-tanya, untuk apa saya mau ke sana? Tapi tidak ada pen-jelasan. Sekitar jam jam 15.00 wita (jam 3 sore) saya be-rangkat ke Desa Tagolu, saya mampir dulu di Sesa Sayo, oleh bapak lurah serta masya-rakat memberi saya makan bahkan sempat didoakan oleh Ibu Pendeta Sayo.Saya berangkat dari Desa Sayo jam 7 malam dan tiba di Desa Tagolu sudah malam. Nanti ketemu Ir A Lateka su-dah larut malam. Di situ ada Sdr Erik Rombot, Soni Ru-mead yang sibuk bicara via HT. Sdr Lateka berbicara ke-pada saya yaitu menggan-tikan dia dalam melaksana-kan tugas, tetapi saat itu pula saya tidak menerima tugas tersebut karena tidak ada ke-jelasan. Saya tetap waspada karena ternyata saat ke Tagolu hanya semata-mata untuk menggantikan tugas dari Sdr Ir A Lateka. Saya tahu setelah saya menolak ta-waran mereka yang berten-tangan dengan hati nurani. Pada tanggal 28 Mei 2000 sekitar jam 07.30 di rumah Sdr Bate Lateka di Desa Ta-golu, kami kedatangan 5 (li-ma) orang anggota Polres Poso membawa perintah langsung dari Bapak Kapolres Poso sekaligus memohon bantuan Kelompok Merah (Kristiani) yang ada di Desa Tagolu un-tuk mengevakuasi seluruh pe-rempuan dan anak-anak yang berada di Km 9, Komp Wali Songo dan akan diamankan di Asrama Kompi Kawu. Se-dangkan para lelaki tetap di-tempat untuk menjaga lokasi tersebut. Bapak-Bapak polisi tersebut diterima oleh Sau-dara Erik Rombot, Bate La-teka, Angke Tungkanan, serta Ventje Angkouw. Perbinca-ngan tetap berlanjut, saya mo-hon pamit karena mau menu-ju Desa Sayo atas perintah lang-sung Panglima Perang, Paulus Tungkanan via telepon yang di-terima oleh Sdr Erik Rombot.Saya dan kurang lebih 60 (enam puluh) orang berangkat ke Desa Sayo untuk menjem-put 9 orang yang sudah tak berdaya akibat gempuran massa dari kelompok tertentu Sekembalinya saya dan te-man-teman dari Desa Sayo, di ujung kampung kami diha-dang oleh sebagian masya-rakat Desa Tagolu yang me-nyampaikan bahwa di Km 9, Komp Wali Songo sudah ter-jadi penyerangan. Saya tidak mengerti mengapa bisa terjadi penyerangkan di Km 9 (komp. Wali Songo)?Perlu saya sampaikan juga bahwa untuk diketahui kehi-dupan antarumat beragama di Km 9 (Kompleks Wali Songo) sebelumnya sangat damai, rukun dan tidak ada konflik. Akan tetapi mengapa kehidu-pan yang damai rukun bisa mengakibatkan kehancuran? Apalagi mayoritas di Km 9 (Komp Wali Songo) adalah warga pendatang. Semua ini terjadi karena ada kepen-tingan-kepentingan tertentu baik pribadi maupun organi-sasi/ kelompok. Begitu pun karena api provokasi yang se-ngaja diciptakan, orang-orang yang tidak mau bertangung jawab karena tidak suka da-mai dan hanya mau memen-tingkan diri sendiri.Saya pun sangat berterima kasih bila penyampaian saya ini boleh menjadi pertimba-ngan bapak guna pengusutan lebih lanjut, dan saya tiap menjadi saksi apapun risiko yang akan saya terima demi keadilan dan kebenaran! Sa-ya pun sempat kecewa karena suara hati kami mulai per-sidangan tingkat pengadilan negeri, sampai peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, belum diperhatikan secara hukum, semoga saatnya se-karang kebohongan publik tidak akan terjadi lagi. Semua yang melanggar hukum harus taat pada hukum dan perun-dangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Inilah yang dapat saya sampaikan dengan sebenarnya semoga teriakan hati nurani kami da-pat didengar sehingga bisa ter-ungkap kebenaran yang sebe-narnya. Terima kasih.(*/habis)

No comments: