Saturday, September 23, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Roda Kehidupan
Kami Tak Lagi Menangis, Air Mata Sudah Kering

Fabianus Tibo (55) saat bertemu dengan istrinya Nurlin Kasiala (50) dan cucu mereka (anak Robertus) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Palu, Kamis (21/9) beberapa jam sebelum eksekusi mati. [Pembaruan/Jeis Montesori S]
Detik-detik menjelang kematian menjemput ayahnya, Robertus Tibo (29), anak sulung Fabianus Tibo (55), satu dari tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, justru tampak lebih tegar. Tak ada air mata yang menetes.
"Kami tak lagi menangis. Air mata kami sudah kering, kami sudah sangat lelah. Bertahun-tahun kami berjuang mencari keadilan, tapi keadilan memang tak berpihak pada orang kecil. Kami sudah pasrah pada kenyataan ini. Tapi sampai kapan pun dan walaupun ayah saya telah menjadi mayat, kami tetap menolak eksekusi ini," ucap Robertus.
Dia menjawab setiap pertanyaan wartawan dengan se- nyuman. Walaupun dari air muka dan tatapan matanya sebenarnya tampak menyimpan perasaan sedih yang sangat mendalam, tetapi lelaki dua anak itu berusaha menyembunyikannya.
"Kami memang sedih dan sering bertanya mengapa semua ini harus terjadi dalam keluarga kami. Tapi setelah tadi saya ketemu papa, justru hati saya lebih tegar. Papa bilang kami tak boleh dendam. Semua yang pernah menghujat papa, harus kami maafkan," ujarnya saat diwawancarai di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Palu, Kamis (21/9), beberapa jam sebelum eksekusi mati terhadap ayahnya.
Robertus berkesempatan menemui ayahnya, Tibo, serta dua terpidana mati lainnya yang juga masih keluarga dengan ayahnya, yakni Dominggus da Silva (37) dan Marinus Riwu (43) pada detik-detik menjelang eksekusi itu dilakukan.
Sementara itu, Yasinta Goo (42), istri Marinus, tidak dapat datang menemui suaminya di detik-detik terakhir menjelang kematian tiba. Tempat tinggal Yasinta yang sangat jauh, di Desa Malores, Morowali, menyebabkan dia tidak mudah datang ke Palu. Apalagi dia harus bekerja mencari nafkah untuk empat anaknya hasil pernikahan dengan Marinus. Yasinta hanya bisa menunggu kedatangan je- nazah suaminya di rumah, Jumat (22/9) pagi.
Sebatang Kara
Perasaan paling sedih dialami Dominggus menjelang detik-detik ajal menjemputnya. Pria lajang kelahiran Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, sejak hijrah ke Poso, hidup sebatang kara, hingga dia menatap regu tembak dari Brimob Polda Sulteng yang mengakhiri hidupnya.
Sejak merantau sebagai transmigran swakarsa mandiri, Dominggus nyaris tidak pernah bertemu keluarga. Ayahnya sudah lama meninggal, tinggal ibunya yang saat ini masih hidup, di Maumere.
Sejak dijebloskan ke Lapas Palu karena dituduh sebagai dalang kerusuhan Poso bersama Tibo dan Marinus, Dominggus lima kali dijenguk pamannya, Adam Atah, yang tinggal di Desa Nita, Kecamatan Maumere, NTT.
Tetapi menjelang saat-saat kematiannya, kerabat dekatnya tak tampak menjenguk. Dalam pesan-pesan terakhirnya yang disampaikan kepada Pastor Jimmy Tumbelaka, pendamping rohani ketiga terpidana mati, Dominggus menyatakan tidak takut mati karena ia yakni hidup dan mati hanyalah Tuhan yang menen- tukan.
Walaupun begitu, dia tetap sulit menerima kenyataan harus dieksekusi karena tetap merasa tidak bersalah. "Keadilan tidak berpihak kepada kami masyarakat kecil. Kurang lebih tujuh tahun kami ungkapkan kebenaran tapi selalu dibungkam aparat penegak hukum Walaupun saya sudah mati saya tetap tidak terima eksekusi itu. Saya akan sampaikan semua ini kepada Yesus di Surga," kata Dominggus.
Memang hanya Tibo yang sedikit beruntung, karena masih bisa bertemu anak kandungnya sebelum maut itu datang menjemputnya. Seusai berkunjung pada hari terakhir ayahnya menjalani kehidupan di dunia, Robertus menyatakan sangat bangga pada ayahnya. "Beliau tetap tenang, hatinya penuh cinta. Papa tidak ada dendam kepada siapa pun. Semua sudah dimaafkannya," ujar Robertus.
Kenangan Masa Kecil
Robertus mengaku berpisah dengan ayahnya sejak enam tahun silam, yakni sejak ayahnya ditangkap, diadili, dan kemudian divonis mati karena dituduh membakar dan membunuh warga di Poso, saat pecah kerusuhan April-Mei 2001.
"Sejak berpisah dengan ayah, sebagai anak sulung saya harus bekerja keras membantu mama mencari uang demi menghidupi keluarga. Tapi sebagai petani transmigran, kehidupan kami hanya pas-pasan, dapat sehari untuk makan sehari," katanya.
Robertus bersama ibunya tinggal di Desa Beteleme Tua, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali (daerah hasil pemekaran Kabupaten Poso). Sewaktu Tibo masih bersama mereka, setiap hari Robertus dan dua adiknya, Bernadus dan Franky, membantu ayahnya bekerja di kebun.
"Kami menanam palawija dan sedikit pohon kakao. Dari hasil itu kami berusaha meningkatkan taraf hidup agar bisa berkembang seperti orang lain," tuturnya.
Suatu hari ketika Robertus tengah bekerja di kebun bersama Tibo, tanpa sengaja kakinya tergores parang. Darah pun mengucur dari kaki Robertus.
Tibo berusaha menolong anaknya. Tetapi karena lukanya parah, darah sulit dihentikan. Akhirnya Tibo menggendong Robertus menuju Puskesmas Beteleme yang jaraknya 10 km dari kebun mereka.
"Peristiwa itu saat saya masih usia 9 tahun. Saya tak pernah bisa melupakan betapa ayah saya begitu baik pada anak-anaknya. Karena itu jika orang mengatakan ayah saya pembunuh, saya tidak percaya. Ayah saya telah dijadikan korban untuk kepentingan orang-orang besar di negeri ini," ujar Robertus yang sempat menamatkan sekolahnya di SMEA Negeri Poso tahun1998.
Sejak ayahnya dijebloskan ke penjara, pada April 2001, Robertus harus menjadi tulang punggung keluarga. Karena itu pula, dia tak bisa meneruskan sekolahnya ke perguruan tinggi walaupun keinginan hatinya sangat besar.
Pada tahun 2002 Robertus menikahi seorang gadis Tentena, dan mereka kini sudah dikaruniai dua anak. Saat ini mereka menetap di Tentena dan membuka kios kecil-kecilan untuk bisa bertahan hidup. Nurlin Kasiala, istri Tibo, ikut tinggal bersama Robertus di Tentena, menyusul ketidakpastian hukum yang dialami Tibo Cs sejak enam tahun terakhir. [Pembaruan/Jeis Montesori]
Last modified: 22/9/06

No comments: