Saturday, September 23, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
TAJUK RENCANA I
Air Mata untuk Tibo Cs

Air mata kami sudah kering dan tak bisa lagi menangis. Kami siap dieksekusi, meskipun kami tetap menolak vonis yang dijatuhi kepada kami". Begitu pernyataan terakhir tiga terpidana mati kasus Poso, Fabianus Tibo (61), Dominggus da Silva (39), dan Marianus Riwu (49). Berbagai upaya telah dilakukan ketiganya untuk menggugah kita semua agar vonis mereka kembali diuji guna mengungkap siapa sesungguhnya aktor intelektual di balik kerusuhan Poso.
Kita sependapat bahwa kerusuhan Poso di tahun 2000 itu merupakan tragedi kelabu bagi bangsa ini. Kita mengecam dan menuntut para pelaku kerusuhan Poso yang merenggut nyawa ratusan penduduk tak berdosa. Patut kita renungkan bersama, kita yang selalu mengagungkan pluralisme sebagai suatu berkah bagi bangsa ini, ternyata selalu dikoyak amarah berlatarbelakang sentimen SARA.
Maka, kita pun selalu bertanya, mengapa di negeri yang dihuni anak bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama dan ras ini selalu saja terjadi pertikaian. Padahal, jika kita menengok ke rakyat bawah sebagai cerminan pluralisme bangsa ini, kerukunan dan toleransi sangatlah kental.
Bukankah itu berarti ada anomali antara kenyataan yang sesungguhnya di tengah masyarakat dengan kenyataan di tataran elite politik? Bukankah ini berarti kegagalan elite politik mengartikan dan mengaplikasikan esensi dari pluralisme itu? Boleh jadi, bukan rakyat yang tak mengerti apa itu toleransi dan kerukunan, melainkan elite dan para pemimpin negeri ini yang mesti belajar apa itu peradaban dalam pluralisme!
Kembali ke persoalan eksekusi Tibo Cs. Mengapa pelaksanaan eksekusi mati mereka mengundang sorotan sinis dari dalam dan luar negeri?
Selain itu, mengapa eksekusi mati tersebut belakangan juga mengundang simpati dari khalayak yang tak lagi dibatasi oleh golongan dan latar belakang tertentu? Itu tak lain, vonis mati yang diterima ketiga rakyat jelata ini telah menimbulkan "keragu-raguan".
Indikasi keragu-raguan atas vonis mati yang dijatuhi Pengadilan Negeri Palu dapat kita lihat dari tertunda-tundanya eksekusi.
Adalah, Kapolda Sulawesi Tengah, waktu itu, Oegroseno, mengakui bahwa penundaan itu terkait adanya keinginan kepolisian untuk menggali informasi dari ketiga terpidana mati ini. Menurut Oegroseno, keberadaan Tibo Cs masih dibutuhkan guna mengungkap para pelaku pembantaian massal di sejumlah tempat di pinggiran Kota Poso yang terjadi pada pertengahan tahun 2000, seperti pembunuhan massal di Desa Tagalu dan Dusun Katedo. Lebih dari itu Tibo Cs yang didukung tim penasihat hukumnya, juga berjuang agar 16 nama yang disebut-sebut para terpidana ini diperiksa kembali. Tapi perjuangan mereka seperti membentur tembok.
Padahal, sejatinya dengan vonis mati yang diterima ketiga terpidana ini, membuka persidangan kembali tak bisa dikatakan mengintervensi putusan pengadilan atau bidang yudikatif. Dengan hukuman mati, sejatinya dalam negara yang justru mengakui supremasi hukum ini hal itu sangatlah dimungkinkan. Bukankah kita semua sependapat, dalam suatu persidangan (pidana), kebenaran materiil menjadi tujuan?
Itu berarti, dalam suatu persidangan pidana, kita tak bisa sekadar merujuk tata cara persidangan yang hanya berorientasi pada kebenaran formil. Dengan mengabulkan permintaan Tibo Cs untuk membuka persidangan dan memeriksa ke-16 nama itu, tak bisa disebut sebagai pelecehan supremasi hukum.
Sebaliknya, tidak dikabulkannya permintaan Tibo Cs itu, berarti kita akan terjebak dalam pengertian supremasi hukum sempit yang mengarah bisa terjadinya peradilan sesat? Kini, kita hanya bisa menundukkan kepala bagi Tibo Cs yang telah menemui ajal di hadapan regu tembak Jumat, dini hari tadi. Semoga dari kasus Tibo Cs kita bisa mengambil hikmah.
Dan tentunya kita mendorong pemerintah untuk terus mengusut tuntas kerusuhan Poso dan menangkap dalang di balik kerusuhan itu. Eksekusi mati Tibo Cs tak boleh dijadikan sekadar "pencitraan politik" para elite di negeri ini.
Last modified: 22/9/06

No comments: