Saturday, September 23, 2006

Komentar, 23 Sept 2006
Penuturan Tibo cs sebelum dieksekusi(1)
Bermula di Gereja Sta. Theresia

FABIANUS Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu sudah tiada. Mereka telah dieksekusi tembak Jumat Dini (22/09) hari, Pukul 00.00 Wita di sebuah tempat dekat Desa Poboya, Kecamatan Palu Selatan. Apa dan bagaimana sampai Tibo cs terjebak, ditahan, dan akhirnya mengakhiri hidup di depan regu tembak? Berikut penuturan Tibo ketika masih hidup yang dibenarkan Dominggus dan Marinus sebagaimana diperoleh dari sumber Independent Media Center Jakarta yang dikutip jawaban.com. Pada pertengahan Mei 2000, kami kedatangan seorang utusan dari Tentena yakni: Sdr Janis Simangunsong. Yang bersangkutan membawa kabar bahwa Gereja Sta. Maria Poso akan dibakar dan umatnya akan dibunuh. Sebagai orang tua/wali murid, kami merasa khawatir dan gelisah memikirkan nasib anak-anak panti asuhan, para guru, suster, pastor dan lainnya. Pada saat itu pula kami mengadakan pertemuan sesama orang tua/wali murid. Hadir pada pertemuan itu 23 orang. Kami sepakat untuk secepat mungkin menjemput anak-anak bahkan seluruh penghuni yang berada di Ge-reja Sta. Theresia, Desa Moengko Baru, Poso.Tanggal 21 Mei 2000, kami 17 orang berangkat menuju lokasi Gereja Sta. Theresia. Dalam perjalanan itu kami singgah di Tentena bertemu dengan Janis Simangunsong, si pembawa berita. Kami ta-nyakan kembali perihal beri-tanya, dan sdr Janis men-jawab: “Terserah Om Tibo mau percaya atau tidak, tapi yang pasti berita itu benar”. Saya-pun balik menentang Sdr. Ja-nis dengan mengatakan: “Bila berita tersebut hanya isu kamu harus menerima risiko-nya, kami akan lapor ke kan-tor polisi sebagai provokator”. Hari itu kami dan rombongan bermalam di Tentena.Keesokan harinya pada tang-gal 22 Mei 2000 kami dan rom-bongan berangkat memakai mobil kijang menuju Gereja St. Theresia Poso. Sekitar jam 3 sore kami tiba dan langsung menanyakan berita tersebut kepada pastor serta suster dan para guru, jawab mereka : “kami belum tahu”. Kalau be-gitu, bagaimana kalau pastur, suster, guru serta lainnya ikut kami saja sekarang kembali ke Beteleme bersama anak-anak, dan mereka katakan “tang-gung” karena besok hari ujian (anak-anak) akan berakhir, bagaimana kalau habis ujian? Kami semua menyetujui, dan kami bermalam di asrama ge-reja karena baru besok akan kembali ke Beteleme.Tanggal 23 Mei tahun 2000, sekitar jam 04.00 (jam 4 su-buh) kami terbangun oleh te-riakan histeris minta tolong berlari memasuki halaman gereja langsung naik ke gu-nung di belakang gereja. Ada yang memanggil nama saya seperti “Om Tibo tolong kami, tolong kami”. Saya tidak habis pikir kenapa, sebagian massa ada yang memanggil nama saya.Saat itu pula saya keluar halaman, tiba-tiba lampu mobil mengena muka saya dan terdengar teriakan “Siapa itu” (maksudnya saya), saya jawab “Ini saya Om Tibo”. Polisi-polisi langsung mendekat kepada saya, salah satunya saya kenal yaitu Bapak Anton. Terjadi perbincangan dengan para polisi. Mereka mengira ka-milah yang mengadakan penyerangan semalam, tetapi saya jawab kami semua peng-huni yang ada di dalam tidak tahu apa-apa, kami memper-silakan bapak polisi meme-riksa ke dalam.Sementara berbicara dengan para polisi, masa dari Ke-lompok Putih sudah mulai me-masuki halaman gereja, bah-kan sudah mengelilingi saya di hadapan para polisi. Sekali lagi saya mencoba menjelaskan bahwa para suster, guru yang ikut keluar asrama mau men-jelaskan kepada polisi serta massa dari kelompok Putih, tetapi penjelasan tersebut sia-sia, massa sudah mulai emosi, sebagian meneriaki seperti “Sudah dia, Om Tibo yang me-lakukan penyerangan dan te-lah membunuh polisi serta mantan lurah Kaimanya.” Bahkan ada yang mau memu-kul dan sudah mengancam dengan parang kepada suster dan para guru yang mau me-nolong menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Saat itu pula saya menyuruh suster dan para guru untuk masuk ke dalam karena saya berpikir situasi sudah lain. Saya mengenal salah satu Tokoh Islam yang saat itu ada di TKP bernama Abdul Gafar. Saya sempat menyapanya sebagai seorang sahabat.Selang beberapa saat, para polisi mau membawa saya ke kantor polisi dengan alasan perintah langsung Kapolres lewat HT. Akan tetapi saya tidak mau karena tujuan kami dan para orang tua/wali ter-masuk Marinus dan Doming-gus yang berada di asrama gereja adalah membawa dan menyelamatkan anak-anak panti asuhan. Saat itu pula para polisi mulai meninggalkan saya sendirian di tengah massa kelompok Putih. Polisi tidak membubarkan massa saat itu, dan selang beberapa lama polisi tinggalkan saya. Massa mulai menjadi-jadi bahkan dengan beringasnya mereka merusak bahkan membakar semua aset-aset gereja, bahkan rumah Gereja Katolik itu sendiri. Di tengah-tengah amukan massa yang sudah tidak terkendali lagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya berdoa supaya saya dan peng-huni yang ada di dalam bisa se-lamat.(bersambung)

© Copyright 2003 Komentar Group. All rights reserved. webadmin

No comments: