Monday, September 25, 2006

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pemerintah Harus Jelaskan Secara Terbuka Soal Eksekusi Tibo Cs

[JAKARTA] Pemerintah harus memberikan penjelasan secara terbuka kepada publik atas eksekusi mati terhadap tiga terpidana kasus Poso III, tahun 2000, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Hal itu harus dilakukan pemerintah mengingat, para terpidana merupakan saksi kunci kerusuhan Poso dan memiliki hak untuk mengajukan grasi untuk kedua kalinya.
Demikian seruan tertulis sejumlah aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Suara Hak Asas Manusia Indonesia (SHMI), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS - Institut untuk Studi Pertahanan, Keamanan dan Perdamaian), yang diterima Pembaruan, Senin (25/9).
Para aktivis dari sejumlah LSM tersebut menyatakan prihatin dengan tetap dijatuhkannya hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, Jumat (22/9) dini hari. Hukuman mati tersebut mengabaikan beberapa pertimbangan penundaan dan penghapusan hukuman mati dari berbagai kalangan dan fakta-fakta, yang menyatakan, proses hukum terhadap ketiganya juga sarat dengan kepentingan dan tekanan politik.
Hukuman mati terhadap ketiganya juga jelas bertentangan dengan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun."
Rafendi Djamin dari HRWG, mengatakan, jaminan hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun, juga dikuatkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Selain ketiga terpidana mati yang telah dieksekusi mati tersebut di atas, tercatat 31 orang terpidana mati yang proses hukumnya telah final dan tinggal menunggu eksekusi, termasuk tiga tersangka pelaku Bom Bali, 12 Oktober 2002, yakni Imam Samudra, Amrozi dan Ali Gufron. Sejak Januari-Maret 2006, tercatat 13 orang dalam proses hukum yang dituntut dengan hukuman mati.
Usman Hamid dari Kontras mengatakan, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu merupakan saksi-saksi penting dalam konflik Poso, sehingga jatuhnya hukuman mati terhadap ketiganya menyebabkan "gelap"-nya upaya memaksimalkan proses hukum, termasuk mengungkap keterlibatan negara dalam konflik Poso.
Menjelang dan pasca jatuhnya hukuman mati terhadap tiga terpidana tersebut, pemerintah juga telah mengabaikan beberapa hak-hak terpidana mati dan keluarganya yang meliputi, pertama, hak terpidana untuk mengajukan grasi untuk kedua kalinya pada 10 November 2007, terhitung dua tahun sejak ditolaknya grasi pertama pada 10 November 2005 lalu. Hak ini diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
Kedua, sejumlah permintaan terakhir para terpidana mati dan keluarganya untuk melakukan prosesi penguburan jenazah, dimana negara dapat menyerahkan prosesi tersebut kepada keluarga. Jatuhnya hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu telah memicu beberapa reaksi di Sulawesi Tengah (Palu, Poso, Tentena) dan Nusa Tenggara Timur (Atambua dan Kupang).
Sinyal akan terjadinya reaksi masyarakat tersebut sudah muncul sejak beberapa bulan lalu ketika pemerintah memutuskan tetap akan melakukan eksekusi terhadap ketiganya. Namun pemerintah memandang remeh aspirasi publik tersebut, sehingga meledak pasca eksekusi. [E-8]
Last modified: 25/9/06

No comments: