Radar Sulteng, Kamis, 14 September 2006
Eksekusi Tibo Cs, Antara Penegakan Hukum dan Kemanusiaan
Oleh Syarifuddin Abdullah
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia 1945 sampai 2006, Indonesia telah melakukan eksekusi mati sebanyak 71 kali. Artinya, selama rentang waktu 56 tahun, sekitar tiga nyawa manusia dieksekusi setiap dua tahun. Demikian inti keterangan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin ketika mengomentari permintan perwakilan Uni Eropa agar Indonesia menghapus hukuman mati pada awal Juli 2006.
Dan memang, setiap vonis mati setidaknya melibatkan dua variabel yang bekerja secara berbarengan: proses hukum itu sendiri dan sentuhan kemanusiaan. Berkaitan dengan eksekusi Tibo cs, kedua variabel ini bekerja dengan intensitas tinggi dan emosional, karena ditimpali variabel bumbu argumentasi yang kadang tumpang tindih.
Berkaitan dengan variabel pertama (hukum): berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, suatu vonis mati berproses melalui enam tingkatan peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (banding), Mahkamah Agung (kasasi), Peninjauan Kembali (Kejaksaan Agung), grasi pertama (Presiden) dan grasi kedua (presiden). Dalam hal ini, hak asasi terpidana mati telah dipertimbangkan dan dihormati melalui proses peradilan yang berjenjang tersebut.
Bagi pihak kejaksaan proses hukum Tibo cs sudah final. Sementara sebagian kalangan menganggap bahwa proses hukum belum final. Sebab peluang grasi kedua masih terbuka setelah dua tahun, terhitung sejak grasi pertama ditolak presiden pada tanggal 10 Nopember 2005. Artinya, Tibo cs masih memiliki waktu sampai 10 Nopember 2007, untuk mengajukan grasi kedua, berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. (catatan: grasi kedua yang diajukan keluarga Tibo cs pada 28 Maret 2006, yang ditolak adalah pengajuan-nya karena tidak memenuhi ketentuan formal hukum, jadi bukan penolakan grasi).
Berbeda dengan variabel hukum, variabel kedua, yakni kemanusiaan, memang lebih menyentuh sebab bersentuhan langsung dengan hak asasi manusia paling inti, yaitu jiwa atau nyawa manusia. Tapi di satu sisi, masalah kemanusiaan juga merupakan wacana fleksibel. Bukan persoalan matematika. Ruang wacananya bisa melebar ke berbagai sudut. Dan pertimbangan kemanusiaan inilah, yang dijadikan acuan berbagai organisasi di dunia, baik LSM maupun institusi keagamaan seperti Vatikan dan KWI, yang menolak hukuman mati. Dalam surat Konferensi Wali Gereja (KWI) yang dikirim kepada Presiden menjelang rencana eksekusi Tibo cs. 12 Agustus 2006, terdapat satu paragrap yang berbunyi: ”Dengan hukuman mati, hidup seseorang diakhiri dan tidak bisa dikembalikan lagi, kendati di kemudian hari kebenaran yang sesungguhnya dapat mengungkapkan yang berbeda”.
Selain itu, secara internasional, protes terhadap penerapan hukuman mati memang didukung setidaknya lima instrumen hukum yang melarang hukum mati:
Pertama, Universal Declaration of Human Right, 1948.
Kedua, Kovenan Internasional Hak –Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Politig Rights –ICCPR), 1966. Derivasi dari DUHAM bahwa hak untuk hidup termasuk dalam non derogable right atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hingga 2 Nopember 2003, tercatat 151 negara telah meratifikasi.
Ketiga, Second Optional Protocol of ICCPR Aiming of the Abolition of Death Penalty, 1990 Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati. Hingga saat ini tercatat 50 negara telah meratifikasi.
Keempat, Protocol No 6 European Vonvention for the Protection Human Right and Fundamental Freedom, 1950. Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati di Eropa.
Kelima, The Romo Stute of International Criminal Court, 17 Juni 1998. Instrumen ini tidak mengatur hukuman mati. Hingga saat ini tercatat 94 negara telah meratifikasi.
Artinya, secara pertimbangan kemanusiaan, kelompok yang menolak eksekusi memang cukup argumentatif, karena pertimbangan kemanusiaan tersebut sudah didasarkan pada sejumlah instrumen hukum yang sudah berlaku.
***
Kedua aliran pandangan tentang hukuman mati di atas, semakin meruncing bila digiring ke wilayah wacana intelektual. Kalau kedua pandangan ini berdebat tanpa mengacu pada pijakan yang jelas, dipastikan perdebatan tidak akan fokus, bahkan bisa menjelma menjadi perdebatan ngalor-ngidul.
Kalau dicermati wacana publik yang muncul sejak kasus eksekusi Tibo cs., khususnya menjelang dan paska rencana eksekusi pada 12 Agustus 2006, dua variabel di atas sering saling bertabrakan, antara kelompok yang berargumentasi dengan semata pertimbangan hukum dan kelompok yang mempertimbangkan variabel kemanusiaan.
Dan kita tahu, kasus eksekusi Tibo cs ini sejak awal memang sudah sarat pro-kontra, karena berkaitan langsung dengan Konflik Poso. Tidak aneh bila kemudian muncul asumsi yang menyebutkan bahwa proses hukum yang sudah dijalani Tibo cs adalah peradilan sesat. Kasusnya semakin pelik, karena selain sudah menjadi wacana publik pada tataran lokal, nasional bahkan internasional, juga melibatkan massa pendukung dan kontra percepatan eksekusi, yang secara bergantian unjuk kekuatan melalui aksi demo. Repotnya, unjuk kekuatan ini berlangsung di wilayah Sulteng (Palu dan Poso) yang masih labil secara emosional, sosial dan keamanan. Tidak heran, bila beberapa peristiwa terkakhr (Bom Tangkura pada 6 September 2006 dan Bom Kawua di Jl. Tabatoki pada 9 September 2006) direspon dengan tafsiran dan spekulasi yang terkesan liar, misalnya munculnya upaya untuk mengaitkan kedua bom tersebut dengan proses rencana eksekusi Tibo cs.
Singkatnya, terdapat dua alternatif yang masing-masing berisiko: pertama apakah kita akan fokus pada penegakan hukum, dan itu berarti percepatan eksekusi Tibo cs. Atau kedua, terus hanyut dalam retorika hukum dan pertimbangan kemanusiaan dengan risiko melakukan by-pass terhadap keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, dengan konsekuensi jangka panjang bisa menjadi preseden buruk. Dan sekali lagi, penundaan yang tidak jelas terhadap eksekusi Tibo cs, bisa semakin meruncing karena berlangsung di wilayah yang masih labil secara emosional, sosial dan keamanan. Dan satu catatan penting: meskipun kasus Tibo cs ini berkaitan langsung dengan konflik Poso, namun proses vonis mati itu sendiri dijatuhkan berdasarkan hukum acara pidana, yakni bahwa ketiga terpidana mati tersebut terbukti melakukan pembunuhan, penganiayaan dan pembakaran. (Penulis adalah redaktur pada buletin Jumat Madani Jakarta, kini tinggal di Jakarta)
Friday, September 15, 2006
Posted @ 10:02 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment