Monday, September 04, 2006

Radar Sulteng, Sabtu, 2 September 2006
Soal Penundaan Eksekusi Tibo Cs
Oleh Samsul Wahidin *

PENYESALAN Jaksa Agung Abdurrahman Saleh atas penundaan eksekusi Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Domingus da Silva -kasus Tibo cs- dapat dipahami sebagai fefleksi dari salah satu bentuk inkonsistensi terhadap penegakan hukum di tanah air. Masih banyak bentuk inkonsistensi lain, terutama dalam kasus yang lebih ringan yang kadang sulit dinalar.
Masyarakat memahami hal itu sebagai titik lemah mekanisme penegakan hukum di tanah air, yang salah satu pilarnya adalah konsistensi dalam implementasi.
Namun, apa pun yang akan terjadi, pada lembar catatan penegakan hukum telah tertulis dua kali penundaan atas eksekusi itu sudah diisi oleh keraguan penegakan hukum yang membawa implikasi luas terhadap kinerja aparat penegaknya di depan sana.
Pembatalan Hukuman Mati?
Dalam pemahaman lebih luas sebagai referensi kasus Tibo cs, bisa dibaca di berbagai buku testimoni yang bermuatan perjalanan kehidupan dramatis dari hayat seorang pendosa. Jamak ditemui, pada detik-detik terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, bahkan ketika kursi listrik siap dihidupkan, atau tali gantung sudah menjerat leher, tiba-tiba ada pemberitahuan dari sang otoritas tertinggi di negara yang bersangkutan bahwa eksekusi dibatalkan. Hingga akhirnya, seseorang menjadi begitu saleh, menjadi penginjil, atau profesi religius lainnya sampai akhir hayat.
Ada invisible hand yang dengan penuh kasih memberikan kesempatan untuk berbuat kebajikan pada usia yang tersisa sampai Dia memanggilnya.
Dalam hal pembatalan hukuman mati, semua negara mempunyai pengalaman serupa. AS, misalnya, sebagai negara maju yang menggunakan pendekatan hak asasi manusia (HAM) dengan basic hak untuk hidup (riht to life) -dari 38 negara bagian yang menerapkan hukuman mati, meskipun hukuman mati dijatuhkan, ternyata hal itu jarang dilaksanakan.
Artinya, dari penerapan hukuman mati itu tidak jadi dilaksanakan terungkap bahwa penyebabnya bukan karena intervensi atau pengaruh dari luar sistem penegakan hukum. Rinciannya, dari vonis mati yang dijatuhkan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, hanya kurang dari 1 persen yang benar-benar dilaksanakan berdasar prosedur tetap vonis mati, mulai pencabutan nyawa hingga sampai pemakaman.
Pada 1995, di antara 3.700-an narapidana yang dijatuhi hukuman mati ternyata meninggal dunia karena kematian alamiah sebelum menjalani eksekusi mati. Sebelumnya, pada 2000-2005, tercatat 548 orang dieksekusi degan rincian 85 dieksekusi pada 2000, 66 orang dieksekusi 2001, dan 71 orang dieksekusi 2002.
Pada umumnya, hukuman mati dijatuhkan karena kejahatan pembunuhan dengan pemberatan (aggravated murder). Misalnya, mutilasi, membunuh penegak hukum, atau membunuh banyak orang. Pada umumnya, pembunuhan dilatari tindakan ekstrem yang tidak masuk akal.
Di berbagai negara juga mempunyai pengalaman yang sama dalam hal penundaan hukuman mati. Kenyataan itu bukan bermaksud melegitimasi penundaan atau bahkan pembatalan hukuman mati. Namun, yang jelas, sanksi terberat untuk mengakhiri hidup seseorang pada prinsipnya harus benar-benar dipertimbangkan.
Filosofinya, ketika didengungkan hak untuk hidup (rigt for life), apakah saat yang sama orang-orang di luar diri (termasuk negara) mempunyai hak untuk mematikan seseorang (right to die)? Bukankah kehidupan dan kematian itu merupakan hududillah (hak Allah)?
Penundaan Tibo Cs
Berdasar kenyataan di atas, kalau pemahaman terhadap penundaan eksekusi terhadap hukuman mati atas Tibo cs didasarkan pada pro kontra pelaksanaan hukuman mati di Indonesia (sebagai bagian dari sistem pemidanaan), itu tidak tepat dan cenderung pokrol. Sebab, ketentuan tentang sanksi terberat, yaitu hukuman mati, masih belum dicabut.
Pasal 10 KUHP yang dijadikan sebagai dasar pengenaan sanksi terhadap terpidana mematok jenis hukuman dan selama ini jenis hukuman tersebutlah yang dijadikan dasar. Artinya, hukuman mati tidak saatnya untuk diperdebatkan pada sistem pemidanaan sekarang ini. Apalagi pada kasus yang sudah divonis, kecuali untuk perubahan KUHP di masa mendatang.
Menyangkut nyawa manusia memang dipahami bahwa semua pihak merasa bersimpati. Hal itu disebabkan begitu hukuman dilaksanakan tidak akan dapat di-review kembali. Kalaupun ada novum dan ternyata yang dihukum mati tidak bersalah, artinya ada kesalahan penerapan hukuman, itu merupakan lembaran sejarah tentang cacat penegakan hukum yang akan tercatat dalam perjalanan penegakan hukum.
Namun otoritas negara melalui aparat penegak hukum untuk melaksanakan eksekusi telah dilaksanakan dan didasarkan pada asas legalitas kuat berdasar konstitusi.
Dalam perspektif ini, ketidaktegasan atas eksekusi Tibo cs menimbulkan spekulasi dan ketidakpastian hukum. Maksud spekulasi di sini ialah tentang latar belakang mengapa eksekusi tidak juga dilaksanakan. Adanya berbagai imbauan -bahasa tepatnya adalah tekanan- atas pelaksanaan eksekusi menunjukkan bahwa hal itu benar adanya.
Ketika Menkopolhukam menyatakan bahwa benar ada surat dari Paus Benekdiktus XVI tentang eksekusi itu dan menyatakan tidak tepengaruh terhadap surat tersebut secara politis dimaknai bahwa justru hal itu berpengaruh. Keberangkatan Menteri Agama M. Maftuh Basuni menemui Paus XVI memperkuat interpretasi itu.
Demikian pula, ekspose media massa yang memberikan porsi besar kepada Tibo cs, baik melalui pengacara, rohaniawan, dan unjuk rasa di berbagai tempat) setidaknya menunjukkan akomodasi untuk mengeliminasi pelaksanaan hukuman mati tersebut dengan berbagai argumen.
Sementara itu, kelompok yang pro terhadap eksekusi tersebut tidak begitu nyaring bersuara. Dari sini dapat dipahami, kinerja hukum telah dimasuki unsur politis yang mengintrusi secara konkret. Dan, ketika hal itu diakomodasikan, ujungnya adalah ketidakpastian hukum.
* Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, guru besar Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkura, Banjarmasin

No comments: